Opini Indri Mardia Eka Putri (AP’21) – Dari Lembah Harapan Untuk Ranah Minang | Hmapunand

Dari Lembah Harapan Untuk Ranah Minang

Oleh : Indri Mardia Eka Putri (AP'21)

Saya bertemu dengannya di dalam buku, yang dari lembar ke lembarnya mengisahkan betapa besarnya sebuah bangsa. Yang mana, di dalam bangsa tersebut ada begitu banyak suku, bahasa, budaya, dan adat istiadat yang menjadi ciri khasnya wilayah yang begitu luas, tanah yang subur, dan masih banyak yang lainnya. Yahhh Indoensia itulah namanya.

Di sana juga lah saya menemukan daerah yang begitu istimewa hidup di kalangan masyarakat yang kental akan adat istiadatnya “Sumatra barat” itulah namanya. Ungkapan “Minangkabau” tak akan terlepas darinya, saya menemukan Minangkabau pada pemandangan ini ketika memberi dan peduli masih menjadi tradisi, saya memandangi bahwa menjujung tinggi rasa saling menghormati adalah sebuah keharusan. Selain itu, di daerah ini nilai-nilai persatuan, kesatuan, dan keagamaan menjadi prioritas utama masyarakatnya. Bak pepatah orang Minang “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang berarti seluruh adat yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau harus bersendikan pada syariat Islam pada gilirannya didasarkan pada Al-quran dan sunnah. Semuanya tak terlepas dari sejarah Minangkabau itu sendiri.

Seiring berjalannya waktu, dunia maya mulai menjadi prioritas, padahal kita memandangi dalam dunia maya terkadang  sulit untuk bahagia disana. Hal ini disebabkan interaksi yang ada hanyalah kata-kata tak ada rasa, dapat dilihat juga makin kesini kita mulai sadar bahwasannya orang-orang lebih cenderung hanya memikirkan eksitensi, ketenaran, dan semata-mata kita ini hanya hidup di dunia maya saja. Rasanya sudah takut melihat negeri ini apalagi di daerah Minangkabau ini, dimana semuanya mulai berpura-pura lupa atau benar-benar sudah lupa akan adanya adat istiadat di negeri ini. Dimana, budaya sudah tak ada lagi di Minang pun sudah dikatakan “kito harus tau jo kato nan ampek kato mandaki, kato menurun, kato mandata, kato melereng”.

Maknanya, Kato Mandaki (kata mendaki) bagaimana kita menyatakan pikiran kita baik dalam komunikasi dengan maupun ketika kita membicarakan tentang seseorang yang posisi tawarnya lebih tinggi dari kita. Contohnya, orang tua, guru, ulama, tokoh masyarakat, termasuk pemimpin negara. Merupakan hal yang terlarang kita menyebut mereka dengan namanya saja atau memberi kata sandang “si”. Kato Manurun (kata menurun) adalah cara berkomunikasi dengan atau membicarakan tentang seseorang yang posisi tawarnya di bawah kita, terutama yang umurnya lebih muda atau memang kepada remaja dan bocah. Kato Mandata (kata mendatar), merupakan cara berbahasa dengan teman sebaya dalam pergaulan. Kato Malereng (kata melereng) adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan pihak yang rasanya janggal apabila mengucapkan perasaan/pikiran kepadanya secara gamblang dan terus terang. Sebegitu detilnya, sebegitu kentalnya adat di Mminangkabau dalam kehidupan sehari-hari, alangkah indahnya, alangkah tentramnya kehidupan jika semua ini terlaksana sesuai apa yang telah dilaksanakan oleh para masyarakat Minangkabau terdahulu. Rasanya semuanya telah dicuri, semuanya telah dirampas justru malah budaya asing yang harus menjadi ketenaran di negeri ini, tak salah jika modernisasi terus berkembang dan kita mengikuti arusnya tapi justru yang menjadi persoalan ketika modernisasi telah melunturkan jati diri dari ranah Minang itu sendiri. Ketakutan ini yang terus merajalela, lengkap sudah ketakutan itu rasanya telah terjadi semuanya. Apa mungkin semuanya terselesaikan dengan makna lagu Ebiet G. Ade yang judulnya  “Berita kepada Kawan???”

Takut benar-benar takut rasanya, namun tahun demi tahun telah kita lalui di negeri ini niscaya akan terus diuji. Berpaling dari semua ini harapan-harapan tentunya harus tetap ada untuk ranah Minang, kita semua tentunya menginginkan  suatu negeri yang benar-benar hadir untuk menyejahterakan seluruh aspek kehidupan baik aspek agama, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya negeri yang benar-benar lahir dari perjuangan sejarah bangsanya sendiri. Negeri Minangkabau yang seperti dulu lagi bahkan jauh lebih baik lagi keberagaman menjadi suatu kekayaan negeri, dimana perpecahan tidak akan ditemukan lagi persatuan menjadi kebiasaan yang harus dilestarikan.

Namun semua ini tak akan terjadi jika kita tidak bersama-sama bersatu mewujudkannya. Kita harus kembali menyadarkan nilai-nilai yang ada di ranah Minang, memperlihatkan kembali Minangkabau yang sebenarnya Minangkabau, yang benar-benar hadir dan mampu memberikan ketenteraman di dalam menjalani kehidupan ini. Ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan elemen lain yang ada di masyarakat Minangkabau membutuhkan kalian semua untuk menjalin ketentraman yang diharapkan itu.

Musuh yang kita hadapi sekarang bahkan tidak pilih kasih tak pandang ras, suku, asal, dan agama mestinya lebih mungkin bagi kita untuk menyatukan sikap dan semangat, lalu akhirnya keringat dari lembah harapan ini hadir berjuta semangat berjuta keinginan untuk mewujudkan ketentraman di ranah Minang ini. Dari lembah harapan sangat menginginkan kembali agar negeri ini mampu melahirkan Hatta yang baru, Syahrir yang baru, Agus Salim yang baru lagi, dan masih banyak yang lainnya. Yaaaa orang-orang hebat dari ranah Minang yang telah berjuang untuk negeri ini.

Dari lembah harapan, sangat mendambakan generasi muda Minang yang paham akan Minangkabau. Begitu banyak harapan-harapan lain yang tak bisa di gambarkan secara meneyeluruh disini, karena melalui harapan ini lah kita tahu bahwasannya ranah minang ini  akan terus ada dan akan terus mampu mengikat semuanya dalam satu kata yaitu Minangkabau.

Untuk itu peran anak muda pun menjadi begitu besar disini, anak muda yang harus mampu  membangun Sumatera Barat yang jauh lebih baik lagi, kita boleh mencari ilmu sampai ke negeri Cina tapi jangan sampai lupa membagikan ilmu itu kepada daerah dimana kita dilahirkan dan membangun negeri ini dengan ilmu yang telah kita dapat, sebab ada pepatah Minang yang kental, “ka ratau madang di hulu, di kampuang baguno balun”. Sebuah pesan yang memberikan makna untuk belajar mengasah diri sebanyak-banyaknya jika perlu merantau ke negeri orang dan kembali lagi membangun negeri yang dicinta, dengan tidak melupakan adat istiadat dan budaya yang telah ada. Hal itulah yang seharusnya dilakukan oleh para pemuda Minang untuk melakukan pembaruan bagi kampung halamannya tanpa lupa apa jati diri dari Minang itu sendiri.

 

1 Komentar

  1. I may need your help. I’ve been doing research on gate io recently, and I’ve tried a lot of different things. Later, I read your article, and I think your way of writing has given me some innovative ideas, thank you very much.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *