Opini Ahmad Syauqi Rizal – Adat dan Budaya dalam Pembangunan Sumbar: Menjadi Alat atau Penghambat? | HMAP Unand

“Adat dan Budaya dalam Pembangunan Sumbar: Menjadi Alat atau Penghambat?”

Oleh : Ahmad Syauqi Rizal AP'21

Gaung reformasi pada dua dekade yang lalu menyebabkan tatanan sistem negara Republik Indonesia berubah banyak, salah satunya adalah pemberlakuan Otonomi Daerah (Otoda). Otoda merupakan seperangkat hak dan wewenang yang diberikan kepada pemerintah berdasarkan UUD 1945 Pasal 18 dan diatur lebih lanjut dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 1 ayat 6 UU tersebut, Otoda didefinisikan sebagai seperangkat hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Republik Indonesia. dengan adanya otoda, bentuk pemerintahan Indonesia berubah dari sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik.

Sehingga, dapat ditafsirkan pemerintah daerah memiliki wewenang tersendiri dalam mengurus rumah tangga sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat, kecuali pada enam aspek. Urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama merupakan hal-hal yang menjadi urusan pemerintah pusat secara absolut dan diatur dalam pasal 10 ayat 1. Oleh sebab itu, ranah pembangunan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah secara mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pemerintah pusat, kecuali jika pemerintah daerah yang menyetujui atau meminta.

Maka tidak heran, tiap daerah yang memiliki ciri khasnya akan memiliki pola pembangunan yang berciri khas pula. Salah satunya di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar), provinsi yang lebih identik dengan diksi “Padang” ketimbang “Minang” ini memiliki pola pembangunannya tersendiri. Sumbar menjadikan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”  (ABS-SBK) yang merupakan falsafah hidup orang Minang sebagai panutan dalam melaksanakan pembangunan di provinsi ini. Sehingga, setiap pembangunan  yang dilakukan di ranah Minang ini tidak boleh bertentangan dengan falsafah tersebut serta nilai-nilai agama dan adat yang berlaku dan dipegang teguh sejak zaman dahulu kala.

Oleh sebab itu, Sumbar selalu melibatkan nilai-nilai adat dan budaya dalam aspek pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Dalam pembangunan ekonomi, Sumbar menjadikan potensi wisata sebagai aspek utama dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Potensi wisata yang bernafaskan Islam dan Minang ini berkutat pada tiga aspek, yakni alam, kuliner, serta budaya yang disatukan dalam etnik Minangkabau. Keindahan alamnya yang memanjakan mata, kenikmatan kuliner yang menggoyangkan lidah, hingga keotentikan budaya yang menggetarkan hati menjadi nilai jual utama Sumbar dalam upaya promosi wisata. Hal-hal ini lah yang menjadi daya tarik utama wisatawan saat berwisata ke Sumbar, bagaimana kearifan lokal bisa bertahan di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan zaman.

Namun sayangnya di sisi lain, entah bagaimana kearifan lokal tersebut malah menjadi penghambat gacornya pembangunan infrastruktur di bumi Minang ini. Sudah malang-melintang di jagat maya bahwa pembangunan Tol Padang – Pekanbaru mandek meski sudah diletakkan batu pertama sejak lima tahun lalu. Hal ini tidak lain dan tidak bukan disebabkan minimnya dukungan dari masyarakat dalam pembangunan infrastruktur. Tidak sedikit masyarakat yang menolak adanya pembangunan jalan tol tersebut akibat kesepakatan ganti rugi yang tidak kunjung menemui titik terang dan lahan yang dilalui kebanyakan merupakan tanah pusaka tinggi

Selain itu, tidak sedikit juga orang yang aji mumpung dan memanfaatkan momen ini dengan mendongkrak harga tanah mereka berkali-kali lipat dari harga wajar. Jadi wajar saja, baik dari pemerintah maupun dari pemilik lahan sulit menemukan kesepakatan mengenai harga pembebasan lahan. Perbuatan ini sangat disayangkan, sebab harga tanah yang dibebaskan saat terkena proyek nilainya lebih tinggi dibanding harga pasaran normal. Tapi tetap saja, kenyataan itu tetap tidak cukup bagi orang-orang yang tamak dan maruk meski pembangunan ini dilakukan demi kepentingan bersama.

Kemudian, aturan adat warisan pusaka tinggi yang sangat rumit menjadi jawaban utama mengapa pembebasan lahan sangat sulit dilakukan. Baik diketahui sebelumnya, bahwa pusaka tinggi merupakan pusaka warisan yang telah diwariskan secara turun-temurun dalam masyarakat Minangkabau dan tidak boleh dijual, kecuali beberapa sebab. Pembebasan lahan tol tidak termasuk dan menjadi penghambat karena sulitnya menemukan kata sepakat antara pemilik lahan, kaum adat, dan pemerintah. Sebab untuk menjualnya, harus melibatkan seluruh elemen adat sehingga banyak kepentingan yang diadu dalam negosiasi tersebut.

Lalu, tidak sedikit juga yang mengaitkan terhambatnya pembangunan jalan tol tersebut akibat kepemimpinan Presiden Jokowi dan orang Minang banyak yang kontra dengan Jokowi. Jadi, banyak yang menduga bahwa sentimen politik juga ikut andil dalam menghambat pembangunan proyek tol tersebut. Padahal, sudah menjadi rahasia umum juga bahwa proyek pusat di Sumbar selalu saja mandek dan molor. Contoh saja, pembangunan By-Pass Kota Padang, By-Pass Kota Bukittinggi, bahkan Kelok 9 yang kini menjadi salah satu landmark kebanggaan masyarakat Sumbar memakan waktu puluhan bahkan hingga belasan tahun yang dibangun pada masa Presiden SBY.

Untuk menengahi persoalan tersebut, pemerintah daerah lah yang mengemban tugas untuk membebaskan lahan yang terkena proyek. Pemerintah daerah sebagai representasi daerah yang mempresentasikan kepentingan daerah harus mampu menjadi penengah dengan kepentingan pemerintah pusat. Namun kenyataannya, masih banyak masyarakat yang menolak meski pemerintah daerahnya sudah menyetujui dan menyatakan akan mendukung. Dalam hal ini, tidak heran banyak yang menilai jika pemerintah provinsi Sumbar dan pemkab/pemkot terkait sebagai pemangku tanggung jawab terkesan lelet dalam menyelesaikan persoalan ini, terutama dalam melakukan pendekatan dan sosialisasi kepada masyarakat.

Demi meningkatkan kenyamanan wisatawan, aspek keterjangkauan harus dikedepankan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur. Contohnya dengan jalan tol, waktu tempuh Kota Padang – Pekanbaru dapat dipangkas menjadi 3 saja, dari yang sebelumnya 9 jam saja dalam keadaan normal. Belum lagi permasalahan bencana alam seperti longsor yang sering terjadi menyebabkan jalan mengalami kemacetan panjang bahkan hingga lumpuh. Dengan adanya jalan tol, diharapkan dapat menjadi solusi dan alternatif atas permasalahan tersebut juga bisa meningkatkan kunjungan wisatawan ke Sumbar yang nantinya ikut andil dalam meningkatkan pemasukan APBD Sumbar.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, bagaimana adat dan budaya dalam pembangunan sebagai alat atau penghambat tergantung bagaimana kita menyikapinya. Memang, tidak sedikit orang yang menjadikan adat sebagai alat bagi mereka untuk mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Meski begitu, patut juga disayangkan bahwa ada segelintir orang dari luar Sumbar yang ikut memperkeruh suasana dan secara serampangan menyalahkan adat Minang. Padahal, adat tersebut lah yang menjadi daya tarik wisatawan jika kita mampu mengelolanya dengan baik dan benar serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Untuk itu, peran pemerintah daerah dalam menangani persoalan ini sangat penting dan menjadi penengah antara pemerintah pusat dengan masyarakat.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *