CERPEN – Nelangsa di Ujung Peluk – Salwa Jihan Afrimananda | Hmapunand

“Nelangsa di Ujung Peluk”

(Surat dari Bianca)

Oleh : Salwa Jihan Afrimananda (AP'21)

“ Bukankah, perasaan bebas untuk diutarakan? Terlalu sulit untuk memahami setiap rasa yang terus mengalir dengan deras, semakinku redam, semakin kencang pula bunyinya. ”

– Bianca 2023

 

        Kebanyakan orang mungkin tidak akan tahu bagaimana rasanya mencintai sendiri, dengan tenaga yang hampir sekarat kau bahkan selalu tertuju padanya. Hari itu menjadi hari terakhir aku melihatnya, memakai topi hitam, rambut ikal yang sedikit kelihatan, juga baju hitam berpadu putih yang membuatnya terlihat tampan.

“Hati-hati ya, Tara”, lirih suaraku sulit untuk didengarnya.

“Tidak akan lama hingga membuatmu merindu sendirian”, Tara membalas dengan lembut.

         2018, menjadi tahun pertama aku bertemu dengan Tara. Di kelas 1 SMA aku duduk di depan dan dia duduk di belakang. Mungkin jika waktu itu kami tidak saling bercanda, aku tidak akan sejauh ini karenanya. Menjadi bayangannya untuk 5 tahun, sangat menguras perhatianku pada manusia satu ini.

       Rasanya pipiku memerah saat pertama kali mendengar Tara memanggil namaku. Rasanya jantungku berdegup kencang saatku lihat notifikasi darinya. Rasanya pikiranku hampir penuh hanya dengan bayang-bayangnya saja. Rasanya pun susah menghapusnya dari hitungan detak jantungku.

         Tara, menjadi satu-satunya lelaki yang sampai saat ini menjadi tempat pulang paling nyaman. Menjadi tempatku berkeluh kesah dari kehidupan menuju 20 tahun yang tidak jelas ini, menjadi teman ke mana saja, menjadi teman gila-gilaan, dan menjadi teman beradu pikiran. Mungkin, jika bukan Tara, tidak ada Bianca yang sekarang. Jika kau bertanya kenapa aku sedalam ini, aku pun tidak tahu. Yang jelas, aku sangat suka jika bercerita dengannya, suka saat dia terbuka akan dirinya, suka saat dia menceritakan bagaimana dia melihat dunia ini, pun aku suka memandangi punggungnya saat aku harus berjalan di belakang, menatap matanya yang sedikit sipit, juga senyumnya yang manis.

      3 tahun berlalu, 2021 datang dan aku harus berpisah dengan semua kenangan manis bersama Tara. Tidak bisa kusebutkan satu persatu bagaimana rasanya bisa menjalani setengah hari sepanjang tahun bersamanya. Indah dan juga berwarna.

“Mau lanjut ke mana lagi, Tara?”, sudah kelas 3 SMA dan kami masih bingung mau kuliah di mana.

“Kayanya mau ngejar IPB dulu deh, kalo ga dapet ya sedapetnya apa aja, yang penting dapet ilmu”, jawab Tara sambil membolak-balikkan kertas kelulusan sekolah.

         Akhirnya, pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa baru keluar, sedih dan senang bercampur menjadi satu. Tara lulus IPB. Bangga sekali rasanya, apa pun keinginannya yang terwujud selalu menjadi syukur bagiku. Dan aku, terdampar di tengah Kota Padang sehingga perpisahan menjadi penengah di antara kami.

      26 April, menjadi hari tersedih dalam hidupku. Harus melihat punggungnya untuk terakhir kali dan tetap tidak bisa mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi. Kupikir, ini waktunya. Semalam sudah kusiapkan semuanya. Surat dan juga kado perpisahan dariku. Kira-kira begini isinya..

Lima Puluh Kota, 25 April 2021

Dear Bumantara,

       Hari ini angin berembus lebih kencang, menyapu pikiran-pikiranku terhadapmu. Siapa yang bisa mendengar perasaan tak terbalas ini? Tidak mungkin kau. Jadi, biarkan tulisan dalam surat ini menjadi penghantarnya.

       Tara, jika kuberitahu apa yang dirasa, mungkin ikut tersayat hatimu, bahwa aku pernah derita lantaran mengiba-ibakan rasa, bahwa pernah kamu mencekik dada yang isinya hanya bahagia. Tapi, perasaan itu dibunuh ia tumbuh lagi. Keraguan itu ditebas ia menjalar lagi.

      Ternyata, cepat rasanya bumi ini berputar, 3 tahun menjadi waktu yang sebentar untuk terus menatap matamu. Bolehkan aku sedikit egois dengan menahan kepergianmu? Jahat sekali aku ini. Tapi jika bisa, apa saja yang membuatmu sedikit tinggal lebih lama, aku mau menjadi salah satunya. Jika dengan itu kamu mau tinggal lebih lama, aku tidak keberatan menjadi apa saja. Karena lelahnya menjadi seperti yang kau mau tidak sebanding dengan harus kehilanganmu. Pada intinya, bolehkan aku menjadi alasan supaya kamu tetap di sini?

       Tara, sungguh aku ingin belajar bagaimana ombakmu bergejolak, agar aku memahami setiap butir pasir dalam dirimu. Agar aku bisa bergerak seirama dengan pasang surut arusmu. Mungkin, tidak ada tempat yang ingin sekaliku kunjungi selain hatimu. Mungkin, tidak ada waktu yang ingin aku habiskan selain bersamamu. Kau tahu? Aku punya banyak hal tentang dirimu, jadi kau tidak usah khawatir aku akan merindukanmu.

        Aku ingin sekali menulis banyak hal tentangmu yang membuatku jatuh sedalam ini. Tentang bagaimana lucunya kita bertemu, tentang aku yang tak berhenti mengagumimu, tentang jutaan hal kecil yang membuatmu sempurna dimataku, tentang diriku sendiri yang percaya bahwa kamu adalah hal terindah untuk dimiliki, bahwa waktu yang kuhabiskan bersamamu adalah saat-saat terbaik dalam hidupku. Dan bahwa aku menyimpanmu di tempat yang sulit untukku katakan. Pada cerita-cerita lain dalam hidup, bahkan mungkin kau tak benar-benar tahu bahwa isi kepalaku penuh memikirkanmu.

        Tara, sepertinya maaf tak lagi berarti, maaf sudah mengkhianati pertemanan ini, maaf sebab banyak beban yang ada atas aku yang tak bisa. Dan maaf sebab mengganggumu atas rasa yang bertumbuh dan bertambah setiap harinya. Tara, sebenarnya sudah kucoba membuang perasaan ini, tapi tetap saja menjadi buntu. Tidak ada harapan untuk kau membalas hal yang sama, aku sekedar bercerita tentang ternyata aku sudah jatuh cinta. Jaga diri baik-baik tara, bawa cerita-ceritamu padaku nanti, ya. Sampai bertemu lagi, Bumantaraku.

With love, Bianca.

      Sebelum Tara benar-benar pergi, aku ajak dia ke sudut ruangan. Kuberikan surat beserta kado perpisahan itu, kuharap untuk ini tidak ada penolakan.

“Nih ada sedikit salam di dalamnya, dibaca nanti saja ya pas sudah sampai tujuan”, ujarku sambil kuulurkan bingkisan tersebut.

“Wah apa nih? Repot-repot sekali, Makasih ya sudah baik selama ini.” Balasnya sambil mengambil bingkisan. Kulihat dia sedikit tersenyum melihat bingkisan tersebut berwarna biru, warna kesukaannya.

“Hati-hati ya, Tara”, lirih suaraku sulit untuk didengarnya.

“Tidak akan lama hingga membuatmu merindu sendirian”, Tara membalas dengan lembut.

Bersambung…

 

 

2 Komentar

  1. I’ve been searching for hours on this topic and finally found your post. baccaratcommunity, I have read your post and I am very impressed. We prefer your opinion and will visit this site frequently to refer to your opinion. When would you like to visit my site?

  2. Your article helped me a lot, is there any more related content? Thanks! https://accounts.binance.com/sl/register?ref=IJFGOAID

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *