“MENGGALI KENANGAN”
Oleh: Dwiky Olviandri AP'22
Aku menghela nafas panjang, sembari duduk di kursi kayu kecil, yang pegangan tangan sebelah kanan nya sudah mulai rapuh dimakan usia. Melihat sekeliling dengan pemandangan yang sama seperti enam tahun silam, tidak ada yang berubah. Lalu perlahan membuang udara itu lewat mulut. Aku menolehkan pandangan ku, melihat langit sore yang hangat, cahaya matahari mulai menghilang seakan bersembunyi dibalik gunung yang aku benci. Aku masih ingat dengan jelas, bagaimana kamu tiba-tiba menghampiriku saat itu, hanya dengan tersenyum tipis lalu duduk di bangku ini.
“Hai, boleh duduk bareng, ga? ” Katamu, lalu melanjutkan menggigit roti coklat. Waktu itu aku sengaja pergi ke taman ini, hanya untuk menenangkan diri karena mamaku marah, dia tau IPK-ku rendah, tempat ini lah yang menjadi penenangku saat itu.
“Hai, iya boleh” Kataku membalas sapaan mu. Kita memang belum saling kenal, bahkan tidak pernah bertemu sebelum itu. Tapi, aku merasa aneh, seolah ada bidadari yang tiba-tiba saja datang menghiburku saat dirundung masalah kuliah. Kamu duduk di sampingku. Tanpa sadar, aku bertanya sesuatu kepadamu dan sebaliknya juga begitu. Kamu juga bertanya kepadaku. Aku lalu bertanya “Anak kampus ini juga?” “Iya” Jawabmu. Topik demi topik mengalir, seperti air yang turun dari gunung menuju lautan, jauh tapi terasa sebentar.
Hari itu aku merasa terberkati bisa berkenalan dengan mu, kita bertukar pin BBM lalu melanjutkan perbincangan di sana. Kita jadi sering bertemu di kampus dan sesekali aku mengajakmu pergi ke kantin hanya sekedar untuk makan siang. Kita menjadi teman. Di setiap hari Selasa sore, kamu memintaku untuk mengantarkan pulang ke rumah, “kalo hari Selasa, aku ga bisa bawa motor” Katamu saat kita bercerita di kantin kampus, kita berteduh sembari menunggu hujan yang datang sore itu. “Kenapa?” Tanyaku. “Kalo hari Selasa itu, motor nya di pake papa kerja” Jawabmu. Dengan berjalan nya waktu, aku dan kamu menjadi dekat, sampai aku menembakmu pun juga di kantin itu. Iya, di kantin. Konyol memang.
Kita juga pernah pergi bermain bersama ke tempat yang kamu suka, awalnya aku bingung kenapa kamu suka kebun binatang. Tapi, setelah kita sering kesana aku jadi mengerti kalau kamu adalah orang yang suka memberi, entah itu daging atau buah-buahan untuk mereka yang kamu sebut anak-anakmu itu. Kali pertama mendengar itu, aku merasa aneh. Tapi itulah sekarang yang membuat aku juga suka memberi kepada mereka yang kekurangan. Entah pengemis atau pun kucing yang kita temui di jalan-jalan kampus ini, kamu selalu membawa makanan kucing.
Kamu bilang saat itu, aku ini mirip seperti kijang yang kekurangan gizi yang kita lihat di sana, tapi lihat lah aku sekarang, berat badanku sudah bertambah delapan kilo dari awal kita pertama kali bertemu, karena aku merasa bahagia bersamamu. Hal terkonyol yang masih ku ingat adalah ketika kita pergi ke bioskop daerah Thamrin dua tahun yang lalu, tepat sehari setelah kita merayakan ulang tahunmu. Saat itu aku yang hendak mengatakan kalau aku ingin melamarmu, tapi apa boleh buat, cincin yang aku sengaja beli di pasar Bintaro saat itu hilang entah ke mana, aku sudah mencari kemana-mana, bahkan kita kembali ke toko itu lagi hanya untuk menanyakan apakah benda bulat seperti donat itu ketinggalan di sana atau tidak, konyol nya adalah ketika sampai di rumah akan mengganti pakaian, aku menyadari ternyata kotak merah berbentuk hati itu menyelinap di saku jaketku bagian dalam. Aku yang panik saat band yang kusewa malam itu mulai memainkan lagu “Pilihanku” dari Maliq and D’essential itu, sontak langsung meraba-raba semua saku. Mungkin karena panik, aku tidak sempat memeriksa saku bagian dalam ku. Rencana ku malam itu tidak berjalan seperti yang aku inginkan. Tapi satu hal yang membuat ku melupakan kekonyolan itu, aku bahagia saat kamu mengatakan “iya, aku mau jadi istri kamu”.
Sudah seminggu, kamu meninggalkanku. Hanya kenangan-kenangan indah yang masih sangat membekas di kepalaku, hanya bisa mengirimkan do’a agar kamu tenang di alam sana. Seminggu sudah kita tidak bertemu, aku tidak lagi melihat senyum mu, dengan lesung pipi yang membuatmu tampak lebih cantik dimataku. Dan aku masih belum percaya kalau ini adalah takdir yang Tuhan berikan kepada kita. Aku masih berpikir ini adalah mimpi, aku masih berharap tiba-tiba saja aku terbangun dari tidurku dan menyadari bahwa semua ini tidak pernah terjadi, lalu bisa memelukmu kembali, seperti minggu-minggu sebelum nya.
Sudah hampir satu jam. Aku masih bertahan di kursi kayu ini. Hanya ingin mengingat kembali hari-hari bahagia yang sudah kita lewati berdua. Bunyi klakson motor yang berisik di sebarang jalan pun sampai tidak terdengar di telingaku, karena aku sibuk menggali memori indah di kepala ku, bersama kamu. Dua hari yang lalu, aku mendapatkan kabar dari petugas kebersihan di taman ini. “Mas, hari ini sendirian lagi? ” Perempuan paruh baya yang memakai baju orange itu bertanya kepadaku. “Iya, bu” Jawabku. Lalu dia kembali bertanya, “Istri nya mana?, biasanya berdua kan? “. “Masih berdua kok, buk” Kataku. Mata nya lalu memandangku dengan heran, belum mengerti maksud perkataanku. “Saya masih berdua kok, hanya saja kami sudah tidak di alam yang sama” Perempuan itu lantas duduk di sampingku, dengan wajah iba dan air mata nya yang berlinang.
Aku bercerita kepadanya, semua penyesalanku yang memberimu izin mendaki gunung jahat itu. Aku menyesal tidak pergi ikut bersamamu saat itu, “andai saja, aku memutuskan untuk pergi dan meninggalkan pekerjaan dua hari itu” penyesalan itu terus membayangiku tanpa henti. Aku sempat menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi kepadaku, bagaimana Tuhan tega kepadaku, mengambil orang yang aku cintai. Tapi apalah dayaku hanya seorang manusia biasa yang bisa khilaf. Hatiku hancur, saat melihat wajah mu yang bersih itu, terbaring begitu saja. Hanya ada kain putih yang menyelimuti. Aku hanya bisa memandangmu dalam, mataku tidak bisa beralih dari mu, di dalam ambulans saat perjalanan ke rumah di pagi itu.
Aku mengalihkan pandanganku, melihat setangkai bunga mawar, warna merah nya sangat merona. Aku lalu beranjak, berdiri dan meminjamkan mataku. “Kamu suka bunga mawar kan? ” Batinku berbicara, halus di dalam hati. Langkah kakiku pergi meninggalkan kursi kayu itu, “aku jalan, sayang” Suaraku pelan, lalu pergi ke rumah baru tempatku beristirahat, tempat yang aku kunjungi setiap sore dalam enam hari belakangan ini.