“Katakan”
Oleh : Dwiky Olviandri AP'22
Sore itu, di sekolah, saat semua siswa sudah kembali pulang ke rumah, Ana masih menunggu mamanya yang belum datang menjemput. Lumayan hening, karena hanya ada Ana dan sahabatnya, Danil. Ana bercerita bagaimana kakinya sampai dijahit, tiga tahun lalu.
Kesialan yang tak diundang menimpa Ana, karena tidak sengaja Ana menginjak ranting kayu saat mendaki Gunung Pancir yang membuatnya tersandung dan jatuh dengan posisi buruk. Kakinya sampai dijahit. Di bangku keramik di depan kelasnya, Ana ditemani Danil, Danil yang mendengar cerita Ana mengernyitkan dahi seakan ikut merasakan sakit.
“Masih kebayang tuh rasanya pas ranting pohonnya nyangkut di kaki aku”. Cerita Ana. Danil lalu bertanya “Terus sempat di jahit ya?”
“Iya, kalo ga salah enam jahitannya, aku udah lupa juga si, waktu itu masih kelas sembilan”. Kata Ana mengambil botol air minum di dalam tasnya, haus. Danil lalu melihat ke bawah sambil menghitung bekas jahitan di kaki Ana.
“Satu, dua, tiga, empat, lima,,,, yang keliatan cuma lima, Na”
“Iya lah udah lama juga, udah mulai ilang dong, Nil” Katanya kepada Danil.
“Iya juga si, lagian kamu naik gunung pake sendal, orang tuh ya, dimana-mana naik gunung pake sepatu, atau nggak sendal yang banyak talinya”. Kata Danil menyalahkan Ana karena itu jelas-jelas bukanlah salah ranting pohon yang memang akan jatuh saat mereka sudah tua.
“Aku udah pake sepatu pas naiknya, trus gerimis kan, jadi licin,ya aku pake sendal naiknya”. Ana mencoba menjelaskan dan masih mencari pembenaran dengan kesalahannya.
“Emang ga bener ni anak” Celetuk Danil. Danil Mengalihkan pandangannya kepada koridor-koridor sekolah, tampak setiap pembatas kelas ditopang oleh tiang-tiang yang menjulang tinggi, catnya yang mulai keropos seakan memberi tahu kalau sekolah ini harus d renovasi ulang.
“Eh,kalo di liat-liat enak ya vibesnya sore-sore gini, aku baru nyadar loh sekolah kita lumayan bagus kalo udah sepi”. Kata Danil sambil melihat-lihat bangunan sekolah mereka yang banyak pohonnya.
“Iya, bagus” Jawab Ana singkat.
saat itu suasana sejuk mulai terasa, jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Angin sepoi-sepoi menarik rambut panjang Ana yang membuatnya seakan berkibas.
“Cantik” Suara hati Danil yang terpesona melihat Ana.
“Kok ga nyampe-nyampe ya mama aku, Nil?” Ana memecah lamunan Danil.
“Macet kali, jam sore Bandung macet terus kan”
“Tapi ga pernah se telat ini mama aku, atau lagi ga bisa jemput ya?” Tanya Ana sedikit cemas, karena nyokapnya selalu datang tepat waktu saat jam pulang sekolah tiba. Danil beranjak dari tempat duduknya, mengeluarkan baju putih yang semula rapi dibalut ikat pinggang, membuka dasi, lalu melepaskan kancing bajunya yang paling atas. Danil, adalah cowok pintar tapi juga nakal. Se nakal-nakalnya Danil, tapi guru-guru terutama guru cewek tetap bersimpati kepadanya, hidungnya yang mancung, dengan alis tebal. Juga punya mata coklat dengan sedikit bulu yang tumbuh di atas bibirnya. Guru-guru di sekolah seolah menyamping kan kenakalannya karena terselamatkan oleh wajahnya yang nyaris sempurna. “Kak Danil Ganteng”, begitulah adik kelas menyapanya.
“Coba aja telepon mama kamu dulu, kalo gabisa aku anter aja pulangnya. Danil menawarkan.
“Bentar” Ana terlihat serius mencari handphone yang disembunyikannya di dalam tas. Sebagian siswa lain pun ikut membawa handphone ke sekolah, walaupun pihak sekolah tidak memberikan izin, mereka tetap membawa itu.
“Nah, ini HP-nya, bentar ya aku coba telepon dulu”.Handphone Ana bergetar, Ana bengong menunggu suara mamanya dari handphone itu. ‘Tuutt… Tuutt….” kok mama ga angkat ya?”
“Coba sekali lagi, Na”
‘Tuutt… Tuuttt…. “masih engga nih”
“Kalo gitu aku anterin aja pulangnya gimana? nanti keburu maghrib, Na” Pikir Danil risau sahabatnya yang tidak tau mau pulang dengan apa. Sudah biasa bagi Danil mengantarkan Ana kembali ke rumah, entah karena mamanya sibuk atau karena tidak ada kejelasan seperti sore ini.
“Tapi kan aku ga ada helm, kalo ada polisi nanti gimana, jadi nambah masalah, aku pulang pake ojek online aja ya, makasi loh udah nawarin”
“Aku tau jalan kecil kok yang ga ada polisinya” Danil masih berusaha agar Ana bisa pulang bersamanya. Terakhir kali Ana pulang naik ojek online, pahanya dipegang oleh bapak-bapak tua yang mengantarnya pulang, makanya kali ini Danil sedikit memaksa.
“Ga usah, ngerepotin, aku bisa naik ojek kok” Tolaknya halus, menghindari tawaran duduk di bangku belakang motor vixion keluaran 2018 milik Danil.
“Oke deh, kalo gitu aku tungguin sampe ojeknya nyampe”
“Makasi banget ya udah nemenin, kalo ga ada kamu aku takut juga, mana orang udah pada pulang semua”
“Iya, sama-sama” Kata Danil. Tidak lama setelah itu…
“Brumm… ” suara motor terdengar dari arah samping kelas 12 IPA 1, “ojeknya deh kayaknya” Kata Ana celingak celinguk melihat ke arah gerbang, memastikan apakah itu ojek yang sudah dipesannya tadi atau tidak.
“Pak, disini! ” Teriak Ana sambil melambaikan tangannya. “Ayok, pulang Nil”
“Yok, kamu duluan aja, motor aku di parkiran atas, hati-hati ya, Na”
“Iyaa, aku pulang dulu” suara Ana terdengar samar dan menjauh dari Danil. Lagi, kali ini Danil masih belum bisa mengantar Ana pulang. Sudah hampir seminggu kebelakang Ana selalu menolak tawarannya.
“yah, gagal lagi gue” Kata Danil pelan sambil menendang batu kecil menuju jalan ke parkiran atas sekolah. “Kapan ya bisa nganterin Ana pulang lagi, terus salim sama calon mertua” sambil menghayal dijamu minum teh di rumah Ana.
“Udah ah, kebanyakan ngayal gua, Mamaa…Danil pulaangg!” Serunya pelan.
~~~~~
Jarum jam berputar cepat, sayup-sayup suara anak-anak yang mengaji di TPA terdengar sampai ke rumah Ana. Dikamarnya yang dominan berwarna cream, terlihat sedang serius mengerjakan tugas sekolah. Kali ini lumayan banyak, sampai seorang Danil yang rajin pun bilang “Kok tugasnya banyak banget ya?” Keluh Danil tadi siang kepada Ana.
“Naa” Suara bu Ida, mamanya Ana yang membuyarkan konsentrasi Ana di meja belajar.
“Haa, iya ma kenapa? ” Sahutnya.
“Sini makan dulu, udah mateng supnya ini”
“Iyaa, bentar-bentar, dikit lagi”
Bergegas Ana keluar kamar dengan suara perutnya yang mulai keroncongan, mencium aroma sup ayam membuatnya lebih bersemangat untuk makan malam ini. Ana yang langsung duduk di meja makan menyadari ada seseorang yang kurang.
“Papa mana mah?, belum pulang ya? ”
“Belum, masih ada kerjaan katanya. Tadi mama ga sempat jemput kamu ke sekolah, masih ada kerjaan juga, HP mama juga mati, ga bisa nelponin kamu, Na”
“Iyaa, untung aja tadi Danil nemenin Ana nungguin ojek” Sembari meniup kuah sop di sendoknya.
“Siapa tuh? ” Suara papa Ana yang tiba-tiba udah masuk ke dalam rumah entah lewat darimana. Seperti rasa yang dimiliki Ana kepada Danil, entah datang dari mana. Rasa itu pelan-pelan memenuhi hati Ana, entah apa yang dilakukan Danil sampai membuat Ana menaruh hati kepadanya. “Apa Danil hipnotis aku, ya? ” Atau pake jimat dari orang pintar? ” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu yang sering bolak-balik di pikirannya. Masih menjadi misteri bagi Ana.
“Loh, mas. Kok sepi ga ada suara mobil kamu? ”
“Mogok mobilnya, mas bilang aja masih ada kerjaan tadi, biar ga kepikiran kalian dirumah, mas pulang dianter temen kantor tadi”
“Terus kenapa ga disuruh masuk dulu? ”
“Mas udah nawarin, katanya buru-buru mau pulang. Eh, Na siapa tuh yang nemenin kamu, pacar kamu ya?” Pak Yos yang ngecengin anaknya sambil duduk di kursi makan sebelah Ana. sontak bu Ida tertawa kecil. Sambil menyeduhkan sup, bu Ida duduk lalu ikut berkata “Ciee, anak mama udah ada pacar ya sekarang, udah kelas 12”
“Ih, ga ada, temen Ana itu, orang dia sering anter jemput juga, kan mama juga tau. Tadinya nawarin nganterin Ana pulang, tapi Ana mau naik ojek aja, ga enak juga, udah sering anterin Ana pulang” Katanya.
“Ah, modus itu mah, papa tau banget yang begituan, dulu ya pas kuliah papa juga yang nawarin mama kamu dianterin pulang, udah hapal papa mah”
“Eh, bukan cuma aku doang ya, mas. Semua cewek kamu tawarin tebengan,sampe anak-anak fakultas sebelah juga” Kata bu Ida tidak terima, membuka kembali kisah cintanya dulu. Marahnya kali ini jelas adalah tanda cemburu.
“Iihh… Papa dulu modus banget, ke semua cewe lagi”
“Emang dasarnya playboy dari dulu papa kamu tuh”
“Tapi mama masih mau tuh sama papa, bilang aja terpikat sama playboy ini” Candaan Pak Yos membuat Ana sama Bu Ida tertawa di meja makan. Bagaimana hatinya tidak terpikat dengan suaminya itu, karena Pak Yos adalah representasi dari film Dilan 1990, tapi versi anak kuliahan, terlebih suaminya itu adalah vokalis band ternama di Universitas, gadis mana yang tidak akan terpikat.
~~~~~
Besoknya, Danil yang sudah siap-siap ke sekolah kesulitan memasang sepatu yang dibeli saat kelas 10 dulu. Lebih tepatnya dibelikan almarhum papanya. Sepatu yang dominan berwarna hitam itu adalah pemberian terakhir dari almarhum ayahnya, dengan sedikit campuran warna hijau muda, warna kesukaan ayahnya.
“Waduh, kok udah sempit aja ni sepatu, baru juga kemaren belinya. Anj* kaki gue, sakit”
“Ehh, kok bilangnya gitu, Nil. jangan di paksain, pake sepatu lain kan ada”
Bu Nilam, nyokapnya Danil yang sudah menjanda sedari dua tahun lalu, menyuruh Danil mengganti sepatunya yang lain.
“Tapi, aku sukanya sepatu ini, seleranya almarhum papa emang bagus, keren sepatunya, hehe”
“Di ganti aja, daripada rusak kamu paksain, mending disimpan buat kenang-kenangan kamu”
“Iya deh, ma. Bentar, aku simpan dulu dikamar sepatunya” Danil beranjak lalu pergi ke kamar mengganti sepatunya.
Matanya sayu, bu Ida perlahan melihat ke dinding yang terpasang foto bersama Danil dan almarhum suaminya. Matanya berbinar, berusaha ikhlas sambil tersenyum kecil berkata di dalam hati “mas, anak mu suka sepatunya”. Dipikirannya, masih teringat jelas saat rumah sakit menelpon Bu Ida karena kecelakaan tragis yang menimpa suami dan anaknya Danil sepulang membeli sepatu sekolah saat Danil baru masuk SMA. sayangnya, nyawa suaminya tidak tertolong.
“Danil udah siap, mah. Salim dulu” Suara Danil memecah lamunannya, lalu menciumnya.
“Kamu ini susah banget sarapannya, orang kalo mau berangkat sekolah tuh ya, sarapan dulu biar kuat. Bekalnya udah dibawa kan? sekolah sore loh nanti”
“Iyaa, udah,ma. Lagian ya aku kalo sarapan pagi bawaannya mules pasnyampe di sekolah, mana Bandung dingin kyak es kalo pagi-pagi”
“Alasannya itu mulu dari SMP kamu mah” Celetuk bu Nilam yang sangat tau kebiasaan anaknya yang dari dulu susah banget sarapan. Satu-satunya cara agar anaknya itu sarapan adalah dengan membuatkan susu, dengan roti yang dicelupkan. Entah kenapa Danil suka dengan kombinasi itu.
“Kalo gitu aku berangkat dulu, ma”
“Hati-hati bawa motornya, jangan ngebut,ya”
“Siapp, berangkat dulu”
~~~~~
Di sekolah, nampak banyak kendaraan orang tua yang sibuk berlalu lalang di depan gerbang SMA Triaksa Bandung. Mengantarkan anaknya lalu lekas pergi bekerja, terlihat mobil Pak Yos datang, Ana turun dari mobilnya dengan menenteng tas kecil berisikan bekal untuk makan siang.
“Ana! ” Gadis feminist dengan rambut pirang bergerai memanggil Ana, memakai rok pendek, kaki jenjangnya melangkah dengan cepat sampai di hadapan Ana. Tiwi, adalah sahabat Ana dari kelas sepuluh. Persahabatan mereka dimulai dari perasaan senasib karena di labrak kakak kelas di awal masuk SMA dulu, “ga usah genit ya jadi cewek” kata mereka saat itu, sambil menatap tajam kepada Ana dan Tiwi.
“Hei, baru nyampe juga? ”
“Iya, dianterin bokap”
“Tumben om Yos bisa nganterin, biasanya tante Ida yang kesini” Tanya Tiwi.
“Iya, nyokap tadi buru-buru ke kantor katanya”
“Yaudah, yok langsung ke kelas” Ajak Tiwi
Pagi itu sedikit berisik, Anak-anak yang baru datang menurunkan bangku yang sebelumnya di letakkan di atas meja. Saling bertanya apakah ada tugas hati ini atau nggak, ada juga yang protes karena ga ada yang piket kemaren, dan keributan lainnya di pagi itu.
“Teman-temaann!! , yang belum bayar kas minggu ini cepetan bayar!” Tiwi berteriak dengan nada yang sedikit mengancam nyawa anak-anak kelas 12 IPA 1. Menyeramkan. Seakan berkata “gue bunuh lo kalo ga bayar uang kas” Lalu menghampiri tiap bangku yang belum tertanda ceklis di buku catatannya.
“Rio!” Panggil Ana, salah satu cowok keren juga famous di sekolah karena gaya hidupnya yang hedon, cuma satu kurangnya, bloon. Iya, bloon. Danil, Ana, Tiwi memanggilnya bloon karena Rio pernah membelikan motor scoopy untuk mantan ceweknya dulu, yang akhirnya putus dibantu sadar oleh sahabat-sahabatnya. “Udah lah, bro. Percaya deh bakalan ada cewek yang bener-bener sayang sama lo, bukan cuma modal matre doang” Kata Danil di malam saat Rio memutuskan pacarnya di depan alfamart depan sekolah. Rio juga pernah di prank pacarnya sendiri seolah ceweknya itu disandera kelompok penjahat, yang kalau Rio mau ceweknya itu lepas harus bayar dulu sepuluh juta. Naifnya Rio menyerahkan uang itu.
“Kapan bayarnya ini, udah nunggak 3 minggu loh, bener-bener ya kamu, di instagram aku liat nongkrong di cafe mulu, bayar kas dua ribu seminggu aja kaga, ayo dong bayar”
“Caelah, stalking aku ya, ketahuan kan kamu sebenernya suka sama aku”
“Idih, najis. Amit-amit ngebayangin aja udah mual aku, sini sepuluh ribunya”
“Kenapa sepuluh ribu, kalo tiga minggu kan itungannya be…”
“Ssstttt… jangan banyak ngomong” Kata Ana tidak membiarkan Rio menyelesaikan omongannya. “Ini tuh sekalian buat 2 minggu kedepan, males aku nagih sama kamu, udah minggir-minggir”
“Aneh banget ni cewek” Gumamnya.
Saat Tiwi sibuk menjarah setiap bangku yang ditemuinya, Bu Rani masuk ke dalam kelas. Membawa dua buah buku paket dan amplop yang berisikan absen kelas.
“Pagi, semua… ” Sapa bu Rini, seketika semua duduk di kursi masing-masing.
~~~~~
“Woi bro!, cepetan sinii” Dari pintu depan kelas Rio memanggil Danil. “Cepetan” Paksa Rio, menghampiri Danil yang duduk di kursinya. Saat itu masih di jam istirahat, Danil yang baru munyuap nasi makan siangnya tiba-tiba di hampiri Rio, hembusan nafasnya yang sesak terdengar jelas di telinga Danil.
“Kenapa dah, buru-buru banget? ”
“Daftar siswa yang masuk eligeble udah ditempel di mading, barusan Tiwi ngasih tau gue, ayok liat kesana” Ajak Rio.
“Seriusan?, yaudah tunggu apa lagi” Danil beranjak meninggalkan kotak makan siangnya yang masih terbuka, mereka berlari kecil bolak-balik ke Safa dan Marwah. Eh, maksudnya ke mading sekolah.
“Nill.!! ” kamu nomor dua, selamat ya” Ana menghampiri mereka, sendirian.
“Alhamdulillah, beneran ini? masih ga percaya aku, bentar aku mau liat langsung” Kata Danil, pergi meninggalkan Ana dan langsung menuju ke mading sekolah.
“Eh, tunggu gue ikut” sahut Rio mengejar Danil di belakang.
~~~~~
Rasa senang, haru bercampur saat empat sahabat ini masuk dalam list siswa eliegeble SMA Triaksa Bandung, Danil tersadar kalau Ana yang memberi tahunya tadi.
“Eh, Ana liatin nama gue berarti dong ya?” Tanya Danil ke Rio, mereka berjalan menyusuri koridor setelah dari mading.
“Maksud lo?” Rio balik bertanya.
“Tadi Ana kasih tau kalo ada nama gue masuk, berarti dia perhatiin gue dong Yo? ”
“Aelah lu, dikit-dikit ana, dikit-dikit Ana, lama-lama gue bilangin juga sama Ana kalo lu suka sama dia” Kata Rio sedikit mengancam Danil. Rio yang sudah muak melihat Danil selalu bercerita tentang perasaannya kepada Ana, tapi Danil belum punya keberanian untuk mengatakan itu kepada Ana.
“Bangke, awas aja lu, takutnya Ana menjauh kalo gue bilang”
“Eh bro, lu cowok, mau sampe kapan mendem terus, kelamaan jomblo gini jadinya, ga ada mental buat nembak cewek, keburu diambil orang baru tau rasa lo”
Lalu, dengan sinisnya Danil bilang “Kalo kata Anggi Marito, tak segampang itu”
“Heleh, lemah. Tapi ya, gue bersyukur banget kita berempat masuk eligeble, moga-moga lulus semua lah, gue bakal kangen sama sekolah ini,sama kalian juga.” Kali ini Rio menyalakan mode serius dalam dirinya, saking jarangnya serius, Danil melihatnya sambil kebingungan, merasa ini bukan lah Rio yang dikenalnya.
~~~~~
Hari itu cukup cerah, membersihkan rumah adalah opsi yang tidak terlalu buruk, setelah selesai menyuci baju, Bi Nilam mengepel semua lantai di rumahnya. Bu Nilam yang tengah mengepel lantai sontak kaget melihat anaknya berlari semangat menuju ke arahnya. Tapi terlambat, kesialan tidak dapat dihindari saat itu.
“Ehh, awas lantainya licin” Teriaknya ingin memberhentikan langkah kaki Danil.
“Prakk!! ” Benar saja, Danil terjatuh.
“Astaghfirullah” Kata Bu Nilam menepuk jidatnya dan tangan kanan yang masih memegang gagang pel.
“Aduhh maa, sakit pantat aku, kenapa mama ga bilang lagi ngepel”
“sini, mama bantuin bangun, pelan-pelan” Mengulur kan tangannya ke Danil.
“waduh, kotor celananya, mana besok pake seragam ini lagi kan ya” Danil sambil menepuk-nepuk pantatnya yang basah.
“Kan masih ada celananya satu lagu, lagian kamu kenapa lari-lari begitu, ga ngucap salam, ga salim, Tiba-tiba lari kayak di kejar setan” Kata bu Nilam lalu memberi segelas air putih kepada anaknya.
“Oo iya, sampe lupa, ini mau ngasih tau kalo aku masuk eligeble sekolah, nomor dua,ma”
“Anabel?”
“Uhuk” Danil tersedak mendengar ucapan mamanya.
“Bukan anabel ma,itu mah boneka hantu”
“Eligeble itu semacam siswa undangan buat kuliah, diliatnya dari nilai rapor mulai dari kelas sepuluh sampe kelas dua belas sekarang, nah anak mama dapet nomor 2 di sekolah buat jurusan IPA, gituu”
“Ooo, ngerti mama, siswa undangan itu ya, pinter dong anak mama dapat nomor dua”
“Iya dong, keturunan dari mamanya, pinter juga” Danil tersenyum lalu menolehkan pandangan melihat orang tua satu-satunya yang dimilikinya.
“Bagus lah, mama terus do’ain kamu supaya bisa kuliah di tempat yang kamu mau, yaudah, sekarang ganti lah bajunya sana”
“Iya, makasih ya ma, mau ganti baju dulu”
~~~~~
Sementara itu di kamar Tiwi, tengah gelisah juga sedang kebingungan entah memikirkan apa.
“Aduh bingung, mending masuk les apa gimana ya, kayanya ga yakin bakal lolos SN deh, atau nanya kakak aja kali ya” Tiwi beranjak dari kasur lalu menuju kamar kakaknya.
“Kak…, lagi ngapain? aku masuk ya”
“Masuk aja, tumben malam-malam gini”
“Iya, ga bisa tidur aku, aku mau nanya, kalo aku les buat persiapan UTBK boleh ga kak? aku janji uang jajannya aku tabung separuh”
Memohon kepada Rayyan, kakaknya. Seorang dokter umum yang membiayai sekolah Tiwi, tepat sudah setahun yang lalu setelah ditinggal ayahnya, sebulan kemudian ibunya pun ikut pergi karena mengidap penyakit paru-paru. Hanya tinggal dia, dan Tiwi, adik semata wayangnya.
“Kamu beneran mau les? ”
“Iyaa, aku ga yakin lolos di jalur raport, mau persiapan aja dulu, kak”
“Boleh, kalo uang jajannya mau di tabung juga boleh, tapi buat bayar lesnya itu tanggung jawab kakak, kamu belajar aja yang bener, jangan nakal aja udah cukup buat kakak”
“Yeyy… kakak kalo ngomong serius gitu makin ganteng deh,oo iya, pacar yang kemaren kapan mau di halalin?” Tiwi cengegesan.
“Udah gede ya kamu sekarang, udah nanya kapan nikah, udah-udah tidur sana, besok kakak masuk shift pagi, mau istirahat”
“Hmm, oke deh, aku ke kamar dulu, good night, ya”
~~~~~
Sementara Danil, juga masih belum tidur karena kepikiran apa yang di katakan Rio tadi di sekolah. Menimbang apakah yang Rio bilang tadi benar atau tidak. Bohong jika dirinya tidak pernah berusaha mengutarakan isi hatinya kepada Ana, tapi Dan belum punya keberanian untuk saat ini.
“Kalo gue bilang yang sebenarnya sama Ana, Kira-kira dia marah ga, ya? ” Gumamnya. Hampir setiap malam Danil terperangkap dalam situasi seperti ini, menerka-nerka apa yang akan terjadi jika dia menembak Ana.
“Tapi kalo ternyata Ana juga suka sama gue gimana?, atau jangan-jangan Ana nunggu gue nembak dia aja? , aelah kenapa jadi kepikiran banget ya, gue. gara-gara Rio bangsat, tapi bener juga yang dia bilang, kalo gue ga gercep ntar ada yang duluan nembak Ana” Sambil memeluk guling, Danil menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya dari mulut.
“Mending tidur” Pungkasnya mengakhiri perdebatan dengan diri sendiri di malam itu.
~~~~~
“Kakk.. , bangun udah mau jam 6 ini”
“Hah? waduh telat gue, handuk mana handuk” gerakan kilat Rio ke kamar mandi meninggalkan kasurnya yang masih berantakan. “Kenapa baru bangunin lo, ngga dari tadi kek”
“Eh, kebo. Udah dari jam lima ya gue kesini, ini yang ketiga kalinya gue bangunin lo, emang dasarnya lo aja yang budeg”. Jawab Adam, adiknya Rio yang terpaut 3 tahun dengan kakaknya itu.
Sudah hampir satu jam setelah Adam membangunkan Rio, menunggu Rio di kursi luar sembari memeriksa buku di tasnya. Mencermati satu per satu dan memastikan apakah ada yang ketinggalan atau tidak.
“Kak.. , buruan ntar kena macet lagi, terus telat lagi, dihukum lagi gue, gitu aja tiap-tiap hari” Adam sudah pasrah hampir tiap hari telat karena Rio.
“Iya, ini udah siap, yok berangkat, mah aku sama Adam berangkat duluu ya”
~~~~~
“Pakk.., bentar bentar tolong banget pak, boleh masuk ya pak, sekali ini aja” Benar saja, lagi-lagi terlambat, tapi kali ini bukan Adam, tapi Rio.
“Kumaha kasep, kenapa telat atuh, bapak gabisa bukain lagi, udah lewat waktu na.”
“Pliss pak… sekali ini aja, besok ngga telat lagi, suer ini mah, saya ulangan pagi ini pak”
Mohon Rio kepada Pak Sandi, satpam SMA Triaksa. Sudah hampir satu dasawarsa beliau mengabdikan diri di sekolah itu.
“Yaudah lah, tapi sekali ini aja ya kasep, besok-besok kalo telat lagi ngga bapak kasih masuk”
“Iya Pak janji saya, suer pak” Rio menunjukkan sign peace kepada Pak Sandi.
Tidak berselang lama, tiba-tiba terdengar suara knalpot racing yang datang dari luar gerbang, ternyata Danil yang juga telat pagi itu. Melihat Rio yang berhasil lolos dari Pak Sandi, lantas Ia pun berniat hal yang sama, membujuk Pak Sandi.
“Pak,…. Boleh ma.. ”
“Ga boleh, udah telat” Sanggah Pak Sandi tidak membiarkan Danil selesai bicara.
“Hahahha mampus siapa suruh telat” Ejek Rio kepada Danil yang sudah memasuki gerbang sekolah.
“Ee liat aja lo ntar ya, awas lo”
Rio yang buru-buru berjalan ke kelas, berjalan setengah berlari sambil berharap kalau bu Rini belum masuk. Bagi Bu Rini, tidak ada toleransi kepada siswanya yang telat.
“Udah masuk belum ya, jangan sampe bu Rini masuk duluan dari gue, auto di blacklist absen gue,” Rio sambil berlari kecil dari parkiran menuju kelas.
Sampai di kelas, “Waduh, gawat ini, bu Rini udah di dalam” Katanya cemas.
“Misi, buk” Tangannya sedikit bergetar mengetok pintu.
“Kamu ga liat udah jam berapa ini? saya ga terima siswa yang masuk setelah saya di dalam ruangan kelas, silahkan keluar”
Menarik nafas panjang, Rio berusaha sabar mendengar perkataan bu Rini. Lantas pergi meninggalkan kelas, kecewa karena usahanya merayu pak Sandi sia-sia, akhirnya tetap ga bisa masuk kelas. Langkahnya santai mengarah ke kantin pak Andi. Sama-sama, Rio sepertinya melihat Danil disana.
“Nil! ” Teriaknya sumringah melihat sahabatnya di kantin Pak Andi, Danil lau menaikkan alisnya.
“Apa lo? diusir Bu Rini juga kan lo jadinya, makanya ga usah sok-sok an ngeledekin orang”
“Yaelah santai brow, chill, sekarang kita senasib”
Hari ini, Danil berniat mengajak sahabat-sahabatnya untuk pergi camp di luar kota, Danil tertarik ke Puncak Bogor setelah video view malam di sana lewat di fyp aplikasi tiktoknya.
“Oo iya, abis pulang sekolah kosong ga, lu? ”
“Kosong sih, kenapa tuh? ” Tanya Rio sembari memesan lontong. “Pak, lontongnya satu, ga pake sayur ya”
“Ini, gue mau ngajakin kalian ke puncak, kemah semalem gitu, pengen nyoba gue, kayaknya enak juga tuh”
“Wah, lu emang paling ngertiin gue, udah seminggu ini gue liat-liatin orang-orang pada kemah gitu, pas banget, boleh-boleh, berangkat langsung sore ini gitu? ” Tanya Rio kaget. Masih memelihara bloonnya, Danil menjelaskan kepada Rio kalau mereka nggak mungkin pergi hari ini, karena besoknya masih hari sabtu.
“Ya nggak lah njir, maksud gue kita ngumpul dulu sama Ana, Tiwi, tanyain dulu mereka bisanya kapan”
“Oo iya iya, tapi gue takut ini ulangan sama Bu Rini bisa susulan ga, diusir gue ”
“WADUH!” kacau ini, gue lupa kalo agi ini ada ulangan sama bu Rini,tapi gapapa lah gue ga sendiri, lu kan juga haha”
“Beehhh,, tai emang”
~~~~~
“Na, aku mau beli es magnum”
“Kok tiba-tiba banget pengen es? ” Tanya Ana penasaran. “Tadi bilangnya mau coklat, sekarang mau es magnum”
“Kenapa ya? gatau juga aku, toh juga sama-sama coklat itu mah, temenin dulu dong bentar” Minta Tiwi sedikit memaksa. Mereka putar balik ke kantin lalu membeli es magnum yang Tiwi mau.
“Tumben lama keluarnya ya, Nil? biasanya kalo bel pulang bunyi langsung keluar tuh berdua”
“Kali aja ada tugas itu, kan kita gatau, gamasuk juga dari pagi” Danil Menoleh kan pandangannya, Rio melihat Ana sama Tiwi berjalan ke arahnya sambil memakan es krim.
“Hei, sini! ” Teriak Danil dari parkiran atas.
“Nah itu mereka”
“Hei guys” Sapa Ana “kenapa ngajakin kesini, mau makan bareng diluar lagi? ”
“Nah, boleh tuh, Nil, ngomongnya di luar aja, sekalian makan, laper gue, Danil yang traktir guys” Rio Mengarahkan telunjuknya kepada Danil.
“Enak aja lo, gaada. nih ya, gue langsung aja ngomongnya, jadi tuh gue mau ngajak kalian kemah di puncak, kayanya seru, belum pernah kesana juga kan kita”
“Ke puncak? niceee ideaa, gue mau. Na, ayok ikutan, kita satu tenda aja” Ajak Tiwi.
“Aku mau banget si, tapi ya kalian tau lah nyokap aku gimana, peluangnya fifty-fifty”
“Gue punya ide” Enam pasang mata yang langsung tertuju kepada Rio, “gimana kalo Danil yang minta izin sama tante Ida?
“Anjir tau banget lo gue mau anterin Ana pulang, emang paling bisa diandelin ni anak” ucap Danil dalam hati.
“Boleh-boleh, kalo ada yang izin langsung kayanya boleh deh”
“Oke, kalo gitu gimana kalo kamu pulangnya aku anterin aja, Na? sekalian ngomong langsung sama mama kamu”
“Tapi aku ga bawa helm, klo ga salah kamu pernah bilang ke aku kalo kamu tau jalan tikus yang ga ada polisinya kan, Nil? ”
“Iya, tau kok, tenang aja”
“kalo gitu, langsung balik aja” Kata Tiwi.
“Aku nebeng sama kamu ya, Yo. ga bawa motor aku tadi”
“Oo iya, boleh, bentar aku ambil motor dulu” Rio meninggalkan Tiwi lalu mengambil motornya.
“Yaudah kalo gitu aku sama Ana duluan ya, Wi”
“Oke deh, hati-hati ya gaes”
“Daahh” Ana melambaikan tangannya.
Di perjalanan menuju rumah Ana, Danil yang senang karena bisa main ke rumah Ana sampe ga denger kalo Ana memanggilnya. Kali ini Danil berhasil, walaupun ada campur tangan Rio di dalamnya, kendati demikian hatinya tetap senang.
“Nil” ….. “Danil”….. “Woi” Menabok pundak Danil.
“Hah? ada apa? ” Danil yang kaget ditabok Ana lantas meminggirkan motornya. Membuka helmnya lalu bertanya “Kenapa na? ada yang ketinggalan? ”
“Astaga, ngga. Aku manggil kamu dari tadi tapi ga dijawab, yaudah aku pukul” Jawab Ana sambil cengengesan.
“Ya Tuhan, kirain ada apa, Na. Yaudah jalan lagi, mau ngomong apa emang? ”
“Tadi Bu Rini bilang, kamu sama Rio ulangan susulan minggu depan”
“Beneran? alhamdulillah, untung ngga di kasih telor”
“Telor? ”
“Iya, telor, dikasih nilai nol maksud aku”
“Hoo iya, aku juga kaget si awalnya, jarang-jarang Bu Rini ngasih kesempatan kedua, tadi aja Rio langsung diusir”
Sudah dua traffic light mereka lewati, masih ada tujuh menit lagi untuk sampai di rumah Ana.
“Eh, Na. kamu sukanya cowo yang kaya gimana sih? Waktu kelas sepuluh banyak kakak kelas yang nembak kamu tapi ga satu pun kamu terima” Danil membuka topik baru, penasaran bagaimana kriteria cowok yang Ana mau.
“Ya aku mah ngga muluk-muluk, standarnya Jungkook lah”
“Waduh, emang aneh kamu, Na”
“Loh, kok aneh? Dimana letak anehnya”
“Ga mungkin Na, ga mungkin, jutaan cewe yang suka dia, peluang kamu itu nol koma noll nolll nolll… Persen, Na” Kata Danil berusaha menyadarkan Ana, bangun dari halusinasinya itu.
“Iya, tau, jangan gitu dong, bikin aku sedih aja gabisa dapetin JK” Lancar banget ya Ana halunya.
“Kan ada aku” Tanpa sadar kata-kata itu terucap dari bibir Danil, yang membuat keadaan hening sesaat. Danil yang langsung sadar pun juga bingung mau bicara apa setelah itu.
“Iya, ada kamu, ada, Rio, sama ada Tiwi yang selalu ada buat aku” mencoba mencair kan suasana, tapi Ana masih kaget perkataan itu didengar dari sahabatnya sendiri. Masih menebak-nebak apakah salah dengar atau tidak.
“Di depan belok kiri kan, Na?, kok aku lupa ya”
“Iya, ambil kiri, udah mau nyampe”
~~~~~
Sampai dirumah Ana, Danil memarkirkan motornya. Melepas kan helm yang baru dibelinya dua minggu lalu bersama Ana, hari itu mereka terjebak hujan dan pulang ke rumah dalam kondisi setengah basah.
“Bentar, Na” Mengambil handphone di saku lalu mengirimi mamanya pesan, “ma, aku pulangnya agak telat, ini ke rumah Ana dulu bentar” Ketiknya.
“Eh, ada Danil, masuk-masuk”
“Halo tante, iya sengaja mampir sekalian nganterin Ana”
“Duduk dulu, tante ambilin air”
“Ga usah repot-repot tante, Danil ga haus kok”
“Gapapa, duduk aja dulu. Na, suruh Danil duduk dulu”
“Kamu ini kaya orang baru aja, sini duduk” ajak Ana ke sofa.
“Gimana tadi belajarnya di sekolah? ” Tanya tante Ida sambil menuangkan air teh ke dalam gelas.
“Ya alhamdulillah lancar tante, tapi tadi Danil ga masuk, telat nyampe sekolah”
“Loh, kenapa telat, besok ga boleh lagi telat, sayang banget loh ga belajar”
“Iya tante, sama Rio tadi juga telat”
“Rio telat juga? astaga kalian Ini. ” Dibminum ya” sembari menyodorkan secangkir gas yang berisikan teh kepada Danil.
“Iya tante, maaf ya jadi ngerepotin”
“Engga kok, ngomong-ngomong mama gimana kabarnya? udah lama juga tante ka ketemu sama mama kamu”
“Mama baik, alhamdulillah, banyak dirumah tante, sesekali main ke ruko, udah ada orang yang bantuin mama juga ngurus ruko” Jawab Danil sembari mengambil cangkir teh.
“Syukur lah, kamu juga tumben banget main kesini lagi? ”
“Oo iya tante, sebenernya ada yang mau aku sampein sama tante, jadi gini, kami berempat sama Rio, Tiwi, rencananya mau ke puncak, camping gitu tante satu malam, boleh ga Ananya ikut tante? ” Tanya Danil berharap Ana bisa ikut pergi.
“Hmm.. Gimana ya, tante bukannya ga izinin, tapi puncak kan dingin ya, kamu tau kan Ana alergi dingin, apalagi kalo malam disana kan, tante takutnya alergi Ana kambuh. Satu lagi, Ana fisiknya ga kuat”
“Obatnya Ana bawa kok, mah” Sanggah Ana masih berharap mamanya memberi izin.
“Mama ga larang kamu pergi, tapi mama khawatir alerginya kambuh”
“Plis mah, Ana mau ikut sama mereka, kapan lagi kan, udah kelas dua belas, mana tau kuliahnya mencar semua, jadi jarang ketemuan lagi”
“Yaudah, mama izinin tapi kamu bawa ya jaket mama yang tebal itu,biar aman”
“Yes, makasi ya, Ma, udah ngizinin Ana ikut”
“Makasi ya tante, kalo gitu aku pamit dulu, buru-buru juga tante, udah gelap juga, takutnya ujan”
“Iya, tapi abisin dulu itu tehnya, mubazir”
“Oo iya tante, Danil abisin”
~~~~~
Diluar rumah, Danil yang tengah memasang helmnya melihat Ana menunggu di depan pintu. Lalu mengatakan “Na, pulang dulu ya”
“Makasi ya udah nganterin, aku tau kamu suka nonton motor GP, tapi ga usah ngebut juga pulangnya”
“hahaha iya-iya, cabut dulu ya” Danil membunyikan klaksonnya, lalu pergi meninggalkan rumah Ana, suara knalpot racingnya perlahan menjauh sampai tidak terdengar lagi.
~~~~~
Seminggu sudah, waktu berlalu secepat kilat, mereka sepakat berkumpul di rumah Ana. Ana yang sedang sibuk tampak sedang mencari obat alergi yang tak kunjung ditemukannya.
“Perasaan tarok disini deh tadi malam” mengulurkan tangannya ke dalam laci sembari meraba kotak obatnya. “Kok ngga ada, ya?”. “Maa.. liat kotak obat alergi Ana ngga? ” Teriaknya sedikit keras
“Kotak obat?, ga tau, mama ga ada nyimpen kotak obat kamu”
“Yaelah dicariin disini dia” Kotak obatnya yang ketemu dibawah kasur. “Kayaknya udah masuk semua. Obat, selimut kecil, guling. Oo iya, mie belum masuk”
Terlintas di pikiran Ana, apa yang Danil katakan saat mengantarnya pulang Seminggu yang lalu. Masih menebak-nebak apakah telinganya salah mendengar atau bagaimana. “Kok gue mikirin itu? biasa aja itu mah, Danil kan emang suka becanda juga”. Kata Ana, masukkan mie ke dalam ranselnya.”Jadi inget kelas 11 deh, rela banget dia jemput aku ke rumah, mana sore itu lagi hujan lebat, pake mantel warna pink lagi, makin lucu”
“Hei, kenapa senyum-senyum sendiri? Mamanya tiba-tiba masuk dan memecah lamunan Ana. “Siapa si, yang bikin anak mama senyum-senyum sendiri? ” duduk disebelah Ana.
“Ahh mamah, ga ada ih, orang senyum mah biasa aja, bukan karena Danil juga” Ucap Ana setengah sadar. Menyadari perkataannya barusan, otaknya berjalan cepat memikirkan alasan yang masuk aka. “Eh, ga gitu, maksud aku tuh anak-anak emang disini kumpulnya ntar sore, Danil juga ada, gitu”
“Hmm… ” gumam mamanya sambil menaikkan alis, menatap anak semata wayangnya itu. “Kamuu….. Suka sama….. ”
“Enggak ada ma, aku ngga suka sama Danil” Semakin Ana berusaha menjelaskan, semakin mamanya mengerti yang sebenernya. “Hufftt,,, iya, aku suka sama Danil, dikit” Sontak mamanya tertawa kecil
“Mama tuh ya, udah ada firasat kalo kamu suka sama Danil, buktinya kamu mau tuh sering-sering dia anter kamu pulang, berarti besok-besok mama ga perlu putar balik ke sekolah kamu kalo udah pulang kantor”
“Ihh.. Mama” menepuk pundak mamanya kecil, merasa malu.
“Mama jadi lupa, ini mama mau kasih jaket buat nanti malam disana, jangan lupa bawa. Mama mau ke pasar, pintu mama kunci, ya” Ana mengangguk
“Tolol, ini mulut kenapa keceplosan segala, ga bisa di ajak kerjasama” Kata Ana menepuk-nepuk mulutnya.
~~~~~
Pukul 3 sore di hari itu.
“Ting” Ana mengambil handphonenya. Whatsapp dari Tiwi “Na, aku otw” Sedikit panik karena belum selesai memasang tali sepatu yang dicucinya selumbari.
“Naa”, suara mamanya memanggil “Rio sama Danil udah di depan tuh”
“Waduh kok pada cepet datangnya, mana gue belum pake sunscreen. Iya Ma, bentar” Jawabnya.
“Assalamu’alaikum, tante” Kompak.
“Wah, kok makin muda aja tante keliatannya”
“Bisa aja kamu, Yo. Duduk-duduk, tante ada roti coklat, pada mau ga?, enak loh” Persuasif mama Ana meyakinkan, menawarkan roti coklat kepada sahabat-sahabat anaknya itu.
“Boleh, tante, kebetulan kita ga sempat makan siang juga tadi”. Jawab Danil menerima tawaran.
“Kenapa pada belum makan siang? puncak lumayan jauh lo, harus makan dulu biar ada energi nyetirnya, yang nyetir Danil apa Rio? ”
“Aku, tante. Besok pulangnya gantian Rio” Kata Danil dengan keadaan mulutnya yang penuh mengunyah roti coklat.
“Kalo gitu, makan dulu rotinya buat ngisi perut, terus ya pesan tante, kalo kalian laper di jalan berhenti dulu, jangan nyetir kalo perut kosong, jadinya ngga fokus, keselamatan nomor satu”
“Iya tente, siap” Danil menolehkan pandangannya, melihat Ana yang sudah siap.
“Tiinn.. Tiin” Suara klakson motor terdengar dari luar. “Kayaknya Tiwi deh” kata Ana meletakkan ranselnya di sofa lalu berjalan keluar.
“Lah, Tiwi bawa motor kesini, Na? ” Tanya mamanya.
“Iya, motornya Tiwi nginap dulu ya ma semalem”
“Hoo, langsung masukin garasi, Na. Setangnya kunci ya”
“Iyaa”
“Eh, kenapa pake baju pendek, Wi?, kita ke puncak bukannya ke pantai, nyampenya udah gelap loh, dingin disana”
“Chill, udah biasa aku mah”
“Assalamu’alaikum, haii tante” melambaikan tangannya
“Wa’alaikumussalam, Masya Allah makin cantik ya kamu,kok udah jarang main kesini, kangen loh tante sama kamu, Wi”
“Tiwi pulang sekolah ada les, tante. Nyampe rumah pun kadang udah maghrib”
“Hoo, udah pada ambis ya, tante do’ain semoga semua diterima di kampus yang bagus”
“Aamiin” semua kompak.
“Yaudah, kalo gitu yok berangkat, aku udah siapin playlist lagu-lagu yang bagus di jalan”.
Ajak Tiwi.
setengah jam di perjalanan~
“Hadeh, aku kira playlistnya semacam lagu Cold Play, yang paradise atau a sky full of star, mabok dengernya lagu dangdut ”
Ana, sembari mengambil minyak kayu putih di dalam tasnya
“Eh, jangan salah. Dangdut itu warisan nenek moyang, leluhur kita loh. Jadi, sebagai generasi muda penerus bangsa, yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negara ini…. kita ha”
“Ssstttt, stop sampe situ” Rio memotong pembicaraan Ana. “Dari semua orang di mobil ini, kamu doang yang suka dangdut, udah hampir satu jam dari awal berangkat, sekarang izinkan hamba mengganti genrenya, yang mulia”
“Siapa yang suka coldplay ngacung” tanya Rio, semua pada tunjuk tangan, tentunya selain Tiwi, kali ini Tiwi ga diajak.
“Fix ya, suara terbanyak”
~intro Paradise by Coldplay~
Mereka bernyanyi bersama, menghabiskan playlist coldplay bersama rintikan hujan yang jatuh di kaca depan mobil.
17:20, Danil melihat jam tangannya, masih ditemani hujan yang belum reda, kali ini gerimis.
“Bensin aman kan, Bro? ”
“Aman, tapi ini macet terus ya dari tadi, perkiraan gue bakalan malam nyampenya”
“Iya, harusnya dikit lagi udah nyampe, tapi masih di Cianjur, liat tuh di belakang”
Danil menolehkan pandangannya melihat Ana dan Tiwi yang tertidur.
“Kecapean kali, nyanyi teriak-teriak, tapi gue seneng mereka have fun, ini bakalan jadi trip jauh pertama kita”
“Kalo gue udah punya anak nih ya, gue bakalan ceritain gimana solidnya kita, tapi kira-kira mamanya anak gue siapa ya? ”
“Gue tau”
“Menurut lo siapa? ”
“Menantu nyokap lo” celetuk Danil
“Beehhh, giblok banget gue, kenapa harus penasaran gue barusan, udah pasti pelesetan lagi ni anak, nyesel gue, anggap aja kita ga ngomong apa-apa tadi” Kata Rio, menekan tombol untuk menurunkan kaca mobil.
“Nyebat ga? menyodorkan rokok Sampoerna kepada Danil
“Lu aja, gue ntar lah”
“Udah nyampe mana, Nil? udah dekat belum? ” Ana terbangun
“Uhuk uhuk, ish asepnya kemana-mana ini Yo, kalo mau merokok disana aja ntar, dasar cowo rokok mulu deh” Kesal Ana.
“Nepi dulu gaes, maghrib an dulu.” kata Danil sambil nanya “ada mesjid yang bagus sekitaran sini ngga ya kira-kira?, coba lu liat maps Yo, kali aja ada” suruhnya kepada Rio.
“Ok google, mesjid bagus di Cianjur” serius menatap handphone sambil melihat foto-foto mesjidnya
“Nah, ada. Ratingnya 4,7. Kalo di foto bagus si, tapi cuma di luarnya aja, dalemnya ga tau deh” katanya
“Berapa kilo lagi? ”
“Enam kilo lagi”
“Buset, keburu isya itu mah, mana macet juga, atau ga usah yang bagus-bagus banget deh, kalo ada di depan kita langsung minggir aja, gimana? ” sesaat Danil menoleh kepada Rio menunggu jawaban Rio
“Gas! ”
Setelah 5 menit menengok kanan dan kiri, Danil melihat mushola kecil di sebelah kanan jalan.
“Tuh, ada mushola, disini aja ya sholatnya, bangunin Tiwi, Na” Suruh Danil sambil memanjangkan bibir mengarah kepada Tiwi.
Sesaat sepeninggal waktu Isya, mereka sampai di puncak. rasa capek, pegal, lapar bercampur semua, tapi sedikit terbayarkan saat mereka menghirup udara segar puncak di malam itu.
“Tenang ya vibesnya, ga ada suara knalpot bising, atau bocil-bocil bandel muterin komplek malam-malam” kata Danil memandangi langit yang dipenuhi bintang.
“Buka tendanya dulu, abis itu makan, terus istirahat deh” tambahnya.
Malam yang hangat, topik demi topik mengalir menghabiskan waktu di malam itu. Ana yang belum tidur, duduk di depan tendanya sembari memandangi langit.
“Beautiful”
“It’s like you” Danil yang tiba-tiba saja menghampiri.
“Beautiful, it’s like u, Ana. Aku mau ngomong sesuatu” Lalu mendekat ke arah Ana, duduk berdua memandangi ampu-lampu kota.
“Ngomong apa” Tanya Ana
“Dulu, aku pikir kita akan jadi sahabat selamanya. Iya, sahabat. Sama sekali ngga ada rasa yang aku pendam ini, tapi sekarang ngga lagi. Aku, mau mengatakan itu”
Hening sesaat.
“Kamu inget ngga pas kita rayain ulang tahunnya Rio 2 tahun lalu? ”
“Iya, aku inget, kenapa? ”
“Waktu itu, aku semangat banget jemput kamu ke rumah, aku juga ngga tau kenapa, mungkin itu awal pertama kali aku menganggap kebersamaan kita jadi sesuatu yang spesial buat aku. jemput kamu, terus kita rayain ulang tahunnya Rio, anter kamu lagi. Sesederhana itu”
“Eumm… Terus hubungannya kamu jemput aku sama persahabatan kita apa? ”
“Pulang nganterin kamu, aku ngerasa ada sesuatu yang hilang, awalnya aku ngga tau, rasanya tuh kayak ada yang kurang”
“Apanya yang ilang? dompet kamu ilang? ” Dengan polosnya Ana yang malah nanyain dompet Danil.
“Kamu yang ilang, Na. Aku yang awalnya senang sama kamu, terus nganterin kamu pulang. Di jalan itu aku ngerasa kehilangan, ya itu kamu” Pelan, bicara Danil menolehkan pandangannya kepada Ana.
“Aku? ”
“Iya, kamu. Aku mau kita pacaran, Na” Gugup, tangannya yang sedikit gemetar mencoba mengambil tangan Ana.
“Aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu. Aku selalu ngerasa happy kalo dekat kamu” Danil mengutarakan isi hatinya malam itu. Ana yang masih setengah sadar mengira-ngira apakah ini mimpi atau ngga, karena orang yang dia cinta juga memiliki perasaan yang sama dengannya. Ana melepas tangan Danil.
mengatakan “Aku ngga tau mau jawab apa, aku bingung. Jujur aku kadang juga ada rasa cemburu kalo kamu dekat sama cewe lain, tapi aku ngga tau apa itu tandanya aku juga suka sama kamu atau ngga”. menarik resleting jaket yang diberi mamanya kemaren.
” Aku belum pernah rasain cemburu ke cewe lain, baru kali ini. Tapi mungkin aku emang ada perasaan sama kamu, Nil. Aku juga senang kalo dekat kamu” Tambahnya.
“Tapi, kamu mau ngga, kita coba dulu pacaran. Biarkan waktu yang menentukan apa kita bertahan atau ngga, kamu mau jadi pacar aku, Na? ” Danil menarik kembali tangan Ana. Menunggu jawaban Ana.
“Iya, aku mau” Danil merangkul Ana.
Dengan ini, mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih, berdua sambil memandangi langit yang indah.
“So sweet bangettt,..Tiwi yang tiba-tiba nongol dari dalam tenda, menguping pembicaraan mereka dari tadi.
” Heh, ngapain disitu? nguping ya?” Ana menoleh kebelakang melihat sahabatnya itu sedang memeluk gulingnya.
“Kamu dari kapan disana? ” Tanya Danil yang penasaran sejauh mana Tiwi mengetahui pembicaraan mereka.
“Udah lumayan lama si, hehe. Maaf aku kepo soalnya. Btw selamat. Bye aku tidur dulu”
“Eh, dasar ya kamu ini”. kata Ana kesal.
Malam itu, Danil yang ngga bisa tidur terus memandangi langit dari dalam tenda, merasa keren karena diterima cewe yang dia suka. Menghabiskan kesenangannya sampai tertidur membelakangi Rio.
Pagi itu, bagi Danil dan Ana adalah pagi yang tidak sama seperti pagi-pagi sebelumnya, ssnyum-senyum sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
“Heh, lo kenapa?, ga kesambet hantu puncak kan? ”
“Ngga” lanjut tersenyum
“Eh eh, kok gue jadi merinding, ga biasanya lu gini. Naa.. Tiwii… ” panggilnya ingin memberitahu keadaan Danil.
“Kenapa? ” sahut Tiwi yang tengah berberes menggulung tenda.
“Kamu liat Danil tuh, kayak orang kesambet senyum-senyum sendiri”
“Iyalah, orang dia lagi kasmaran sama Ana” jawab Tiwi santai, seakan mereka sudah lama berpacaran.
“Ha? gimana?”
“Iya, lo si langsung tidur tadi malam, mereka jadian tadi malam”
“What? beneran? ” kaget, mulut danil terbuka seakan tak percaya kalau dua sahabatnya pacaran tanpa sepengetahuannya.
“Nih, makan” Tiwi menyodorkan roti sisa gigitannya ke mulut Rio.
“Heh, sini lo pada, ngumpul disini, cepetan ngga” Paksa Rio
“Kenapa lo jadian sama Ana ngga ngasih tau gue, dan diantara kita berempat cuma gue doang yang ngga tau? asem banget”
“Kan lo tidur” Kata Danil “gimana mau tau ya kan? ” meminta persetujuan yang lain.
“Bener” Ana sama Tiwi kompak.
“Ga, gue masih belum terima. Lo semua harus minta maaf sama gue”
“Hadeh, ni anak. Oke. Gue minta maaf” Kata Danil.
“Belum cukup, kalo gitu. Kalian traktir gue buat sarapan, plus rokok sama kopi gue, titik ga ada penawaran”
Danil yang pasrah, melihat kepada Ana dan Tiwi seolah berkata “yaudah, turutin aja lah”.
Perjalanan pulang~~
Kali ini Tiwi yang ngga mau ngalah soal playlist, koplo dangdut yang kembali membuat Ana pusing.
“Astaga, mulai lagi, tolong dong minyak angin di tas gue, siapapun. Katanya sambil menutup mulut.
“Nih, sayang” pas banget musiknya habis, sesaat keadaan menjadi hening.
“Iya, sayang aku” tambah Danil. Mereka tertawa lepas saat itu juga. Pagi yang beranjak siang, hari itu menjadi saksi bisu kompaknya persahabatan mereka. Trip ke puncak akan selalu menjadi topik utama saat mereka dewasa nantinya.