CERPEN – Pilihan – Lingga Septin Aldaty |Hmapunand

 

“Pilihan”

 Oleh : Lingga Septin Aldaty (AP'20)

    “DAAAARRRR,” Satu peluru tertembak, menuju jantung Ibu yang membuat kinerja kehidupannya berhenti, darah mulai bercucuran bersama isak tangis adikku yang tertahan. Pemandangan menyakitkan yang hanya bisa aku saksikan di balik celah pintu lemari, tiga orang yang sangat aku cintai sedang melawan maut yang sebentar lagi datang menghampiri. Ayah terlihat berusaha menjangkau tubuh ibu yang telah terkapar lebih dulu, dipeluknya tubuh kurus itu, tampak kalau ia memang sangat mencintainya, wanita yang telah menjadi teman hidupnya selama lebih dari 15 tahun. Tulang rusuk kehidupannya, kini tergeletak tak berdaya.

   “DAARRR,” Satu peluru lagi menyusul, tepat di kening adikku. Ia terjatuh. Ayah terkejut. Tangisku kembali pecah di dalam bibir yang tak bisa bersuara. Ayah masih berjuang, berusaha menebaskan pisau yang ia pegang ke tiga orang di depannya, mereka tinggi dan tegap, wajah mereka sangar dan tampak mencemooh. Satu dari ketiganya memberikan isyarat, tampaknya ia adalah bos diantara mereka. Ia seakan mengatakan geledahlah rumah ini, mungkin saja masih ada  nyawa yang tersisa. Sedangkan, ia berusaha mencengkram leher Ayah. Ayah tercekik, pisau yang ia pegang jatuh tepat di bawah kakinya. Ayah menjangkaunya, namun tak sampai. Ayah menatap pria itu dengan tatapan kebencian, pria itu memindahkan tangannya ke pipi Ayah, dicengkramnya kuat-kuat hingga mulut Ayah terbuka lebar. “Makanya!! Hutangnya dibayar dong, ini udah berapa bulan ha??,” ucap pria itu kasar, sembari memasukkan bibir pistol ke mulut Ayah, Ayah mencoba menolak namun, “DAAARRRR,”. Semuanya telah selesai.

    “Ayaaaah!! Ibuuuu!! Claraaa!!,” teriakku dalam hati, lepas bersama air mata yang tak lagi berhenti. Dua pria tadi berjalan dengan cepat. Aku dengan cepat pula menutup mulutku rapat-rapat, sampai tak ada celah untuk paru-paruku bernafas.  Mereka mencari ke segala sudut, di bawah meja, belakang pintu, kamar mandi, kolong tempat tidur, dan keseluruh tempat yang kemungkinan ada orang disana. Nafasku memburu bersama cepatnya dua pasang kaki itu melangkah.

     Tiba-tiba keduanya berhenti. Aku kembali mengintip di celah lemari, tampak ketiganya mulai berjalan keluar pintu. Aku pandang ketiganya lekat-lekat, mereka tampak puas, dengan beberapa bekas luka kecil di tubuh dan muka. Bos diantara mereka terkena sayatan pisau ayah, di bagian pipi hingga bola matanya berdarah. “Aku akan mengingatnya,” gumamku pelan. Aku serasa mengenal pria tinggi itu atau pernah serasa melihatnya, tapi entah dimana.

   Aku mulai melangkah keluar pintu, menatap segala sudut ruangan untuk memastikan semuanya telah aman.  Aku lihat keadaan rumah yang telah hancur berantakan, bekas tembakan berserakan. Tertegun aku dengan pemandangan menyakitkan, menusuk lara dan menghancur jiwa. Ayah, Ibu, dan adik kecilku Clara. Ketiganya tergeletak berlumuran darah. Badanku gemetar. Kaki tak kuat lagi menahan berat badan. Aku jatuh, bersama air mata yang menyusup keluar. “AAARRRGGHH,” teriakku memenuhi seisi rumah, berusaha meluapkan amarah.

      Aku merasa tak berguna, membiarkan kedua orang tua, dan adikku terbunuh di tangan orang-orang jahat, lantas apa yang bisa aku perbuat, berlari kearah mereka dan ikut terbunuh? Tidak. Itu akan lebih sia-sia. Ini mungkin jalan yang telah disediakan Tuhan agar aku lebih kuat menghadapi sisi kelam dunia. Tapi tetap saja, semua telah sirna, cahaya kehidupanku.

    Aku ambil pistol yang biasa disimpan ayah di bawah tempat tidurku, sejak kecil aku memang dilatih ayah untuk menggunakan benda-benda seperti itu dan semacamnya, setiap kali aku bertanya, “Untuk apa aku yang hanya seorang perempuan belajar hal-hal yang berbahaya seperti ini?,”  Ayah selalu berkata “Bukan berati karena kau seorang perempuan, dunia akan bersikap baik padamu nak. Bahkan lebih kejam! Maka jadilah gadis yang kuat, dalam keadaan apapun,” itulah perkataan Ayah yang akan selalu aku ingat. Aku berjalan menuju dapur untuk menggambil pisau dan beberapa alat yang mungkin aku butuhkan. Badanku mematung melihat sebuah kue ulang tahun, dengan lilin bertuliskan angka 14 tahun terletak di atas meja. Oh iya, besok adalah hari ulang tahunku. Bukankah ini kado yang indah?

***

     Di tengah kelamnya malam, aku berlari sekencang mungkin ke arah hutan, bulan bahkan tak bersedia membagi sinarnya untuk sedikit menerangi jalanku. Sesekali terjatuh tek memberhentikan langkahku. Rumahku memang sedikit kearah pelosok desa, hingga kejadian tadi bahkan mungkin tak diketahui penduduk lain. Kini yang terpikir olehku adalah menghilang sementara dari radar mereka. Karena untuk membalaskan dendam butuh tenaga yang lebih ekstra.

***

   Pagi kembali menggantikan tugas sang cakrawala malam, cahaya sang surya mengintip di sela-sela dedaunan rimbun, mulai menerpa wajahku seakan membangunkanku dari tidur ini. Aku mengucek mata, masih terasa asing dengan keadaan yang ada. Kulihat pohon-pohon rindang yang tingginya kira-kira 20-40 meter berada di sekitarku. Aku baru ingat aku tertidur di tengah hutan karena kelelahan berlari. Untung saja tak ada binatang buas yang memangsaku.

    Aku kembali berjalan, membawa tas yang berisi benda-benda tajam dan juga barang lain yang mungkin akan aku butuhkan, serta sepotong kue buatan ibu, untuk sekedar mengganjal rasa lapar. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Lalu apa? Siapa yang akan mengucapkan selamat? Siapa yang akan memanjatkan do’a? Tidak ada siapapun. Aku sendiri.

     Aku kembali menuju rumah, melihat mungkin saja mereka kembali, dan sedang mencariku. Aku tutup mukaku dengan masker dan jaket yang kubawa, agar tak ada yang mengenali, karena jika saja ada yang bertanya, lantas apa yang harus kujawab? Mengadukan semua yang terjadi? Siapa yang akan percaya dengan gadis kecil berumur 14 tahun sepertiku? Mungkin saja aku yang akan dituduh melakukan semuanya.

  Sampai di pekarangan rumah, aku terkejut. Warga desa telah berkumpul.  Ingin rasanya menangis melihat pemandangan menyedihkan yang kembali disuduhkan di depan mataku. Tapi aku hanya bisa menutup mulut rapat-rapat agar tangisku tak terdengar. Rumahku terbakar. Semuanya hangus, mayat kedua orang tua dan juga adikku ikut lenyap bersama kobaran api.

Menyisakan puing-puing bangunan yang tak lagi bisa dihuni, bersama segenap kenangan yang hanya bisa disimpan di dalam hati.

Aku kepalkan tanganku kuat-kuat, tanda bahwa aku menahan rasa sakit yang amat dalam, yang takkan bisa di obati oleh apapun di dunia ini. Kini tujuan hidupku hanyalah satu yaitu  membalaskan dendam untuk membayar nyawa kedua orang tua dan adikku.

***

*Beberapa tahun kemudian.

   Sinar jingga mulai menghiasi langit senja, burung-burung beterbangan pulang ke rumah mereka. Angin ikut serta menghiasi suasana sore itu. Banyak orang yang beralu-lalang, sibuk menyelesaikan aktivitas masing-masing. Aku masih berdiri di halte, menunggu bus yang akan mengantarkanku ke apartemenku. Meski kehidupanku sudah sebaik ini, aku tetap tidak mau membeli mobil pribadi, hitung-hitung aku ikut membantu mengurangi polusi yang ada di dunia ini.

   Aku yakin ayah, Ibu dan Clara pasti senang melihat keadaanku hari ini. Sejak insiden itu terjadi, aku pindah ke daerah lain yang cukup jauh dari rumahku yang dulu, karena tentu yang diketahui penduduk desa saat itu, adalah aku juga mati terbakar api. Aku berjalan berhari-hari hingga sampai di sebuah kota besar yang saat itu aku juga tidak tau namanya. Aku pergi ke sebuah panti asuhan, dan mengaku terpisah dengan orang tuaku di stasiun, aku merubah namaku dan juga menyamarkan nama orang tuaku, agar saat polisi berusaha melacak keduanya mereka tidak ditemukan. Apakah anak 14 tahun ada yang berpikiran sepertiku?.

Akhirnya aku tinggal di panti asuhan, aku melanjutkan pendidikan di sekolah di sekitar panti dengan dibiayai oleh pemerintah, hingga jenjang perguruan tinggi. Setelah wisuda aku mencari pekerjaan dan akhirnya diterima di sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang bisnis dan pariwisata. Aku pindah dari panti asuhan dan menyewa apartemen untuk tinggal, yang jaraknya cukup jauh dari kantor tempatku kerja sehingga aku harus berulang kali menaiki bus. Sejauh ini belum ada hal menarik yang terjadi.

    Dibalik semua itu, tujuan hidupku tetap tidak berubah, aku masih mencari pria di malam itu dan anak buahnya, yang sampai  saat ini belum juga aku temukan. serta seluruh keluarga mereka. Dan aku akan membuat perhitungan.

      “TIIIITTTT,” bunyi klakson mobil mengagetkanku dari lamunanku.

      “Haiii! Kok ngelamun gitu?,” sapanya, sambil tersenyum. Senyumannnya memang yang terbaik di dunia ini, karena memang sudah tak ada lagi Ayah, Ibu dan Clara.  Jadi, dia memang yang nomor satu bagiku saat ini. Namanya Nino. Diftan Etrama Nino. Dia tampan juga mapan. Badannya tinggi, mukanya ala-ala jawa belanda, hidungnya mancung dengan sedikit bintik-bintik merah menghiasi wajah putihnya, rambutnya acak-acakan tapi enak dilihat. Dia ramah dan juga baik. Dia pemilik sebuah perusahaan ternama yang bergerak di bidang marketing. Kami pernah bekerja sama dalam suatu project. Setelah itu dia minta kenalan dan kami  jadi sering bertemu, hingga hari ini.

     Nino itu perhatian dan sering membuat aku salah tingkah dengan kelakuannya. Sejujurnya kami tidak berpacaran tapi dia sering mengirimiku bunga dan coklat saat di kantor, yang diantarkan oleh tukang koran keliling. “Apa susahnya kan kasih sendiri,” aku sering berfikir seperti itu. Dia orang yang selalu ada saat aku membutuhkan, saat tak ada seorang pun tempatku mengadu keluh kesah. Bahkan jika permasalahan wanitaku muncul saat di tempat umum, maka dia adalah orang pertama yang akan aku hubungi. Dia selalu memberikan bahunya tempatku bersandar. Aku terlalu nyaman, kemungkinan aku jatuh cinta, tapi aku tidak tau dia bagaimana.

“Lapar gak?,” tanyanya padaku, saat kami sudah di dalam mobil, hendak mengantarku pulang.

“Lumayan, kenapa?,” tanyaku balik.

“Makan yuk!,” ucapnya , dengan senyum menghiasi bibirnya.

“Yuk,” jawabku cepat.

      Kami berhenti di sebuah restoran terkenal di kota itu. Menghabiskan waktu berdua dipenghujung senja. Matahari tempak lelah, dan sebentar lagi tugasnya akan digantikan sang rembulan. Namun, sinarnya yang jingga masih saja indah menghiasi langit kala itu. Nino sengaja mengambil tempat duduk di paling tepi, dengan tujuan bisa memandang matahari terbenam hingga menyisakan kelam, dikelopak mata.

“Arin..,“ ucapnya lembut.

Oh iya, aku lupa memberitahu namaku. Dulu namaku “Rachel Arnesya” namun setelah kejadian itu aku mengganti namaku  menjadi “ Victoria Clarin” dengan panggilan Arin.

“Iya, ” aku beralih pandang dari matahari yang hampir terbenam ke arah Nino. Aku tenggelam dalam tatapan mata coklatnya, dia begitu serius menatapku kali ini,  dengan senyuman yang begitu menenangkan.

“Aku suka kamu, ” ucapnya hati-hati tapi pasti.

Aku terkejut. Antara bahagia dan bingung. Bahagia karena ternyata cintaku terbalaskan, dan bingung apa yang harus aku jawab.

“Ini tuan, nyonya. Makanannya, ” ucap pelayan sembari datang menghidangkan makanan. Aku dan Nino sontak kaget dan sama-sama salah tingkah. “I-i-ya, tarok aja di situ,” ucap Nino gugup berusaha mengalihkan perhatian.“Ni pelayan gak tau apa, lagi romantis-romantisan, malah ganggu,” ucapku kesal di dalam hati.

“Iya tuan, nyonya,” ucap pelayan perempuan itu sopan, sambil melangkah pergi. Kami berdua tertawa kecil, menertawakan kejadian barusan.

“Aku juga,” jawabku sambil tersenyum menunduk, mempermainkan jari-jemariku yang menunjukkan aku sedang salah tingkah.

“Aku gak akan ngajak kamu pacaran, aku mau kita langsung ke jenjang yang lebih serius aja, ” Ucapnya sambil memandangku lekat-lekat.

     Aku tertegun mendengarnya. Kini aku masih berumur 23 tahun, dan menurutku itu masih sangat  muda. Tapi mungkin ini jalan yang telah disediakan Tuhan.

     Aku menerawang jauh di dalam lamunanku, terbayang kembali kejadian malam itu, kejadian yang menjadikanku gadis sebatang kara di dunia ini. Kejadian yang menjadi kado paling menyakitkan yang penah ada saat hari ulang tahunku. Aku menghadapi semuanya sendiri. Susah dan sulitnya hidup aku menanggungnya sendiri. Tak ada tempat mengadu. Tak ada tempat bersandar.

      Apakah semua kekelaman itu berakhir? Berakhir bersama datangnya Nino di kehidupanku? Yang membuat hidupku yang awalnya hitam putih kembali berwarna dan bermakna. Lalu bagaimana caraku untuk menceritakan semua kejadian itu padanya? Tentang nama asliku, asalku, dan semua tentangku yang bahkan tidak diketahui satu orangpun didunia ini. Apakah dia akan tetap menyukaiku jika tau semuanya?

“Hoy! Kok ngelamun sih? Jawab dong pertanyaan aku,” ucapnya berusaha menyadarkanku dari lamunanku.

“Kamu bilang apa?,” tanyaku bingung.

“Besok kamu ikut aku ya, kita ketemu mama sama papa,” ucapnya sambil tersenyum.

Aku mengangguk. Pertanda menyetujui apa yang di tanyakannya padaku.

***

    Mobil melaju kencang, meninggalkan hiruk-pikuk pusat kota yang sangat sibuk di pagi hari, semua orang melakukan aktivitas mereka masing-masing. Hari masih pagi, namun jalanan sudah mulai dipenuhi kendaraan yang bolak-balik sana-sini. Kami sedang dalam perjalanan menuju kediaman orang tua Nino. Aku masih duduk terdiam di sampingnya . Sesekali aku tersenyum tipis pada diriku sendiri, karena tak tau lagi bagaimana cara menyalurkan rasa bahagia yang kini memenuhi dada.

     Hamparan bunga bagai bertebaran di sepanjang jalan, padahal sebenarnya tidak ada. Sebentar lagi aku akan bertemu kedua calon mertuaku. Apakah ini rasa bahagia yang sesungguhnya? Sejak orang tuaku meninggal, aku  memang jarang merasakan hal-hal menyenangkan, hmmm kalau diingat-ingat mungkin terkahir kalinya saat aku dan clara dibawa oleh ayah dan ibu ke ferstival es krim, dan ayah mengatakan bebas membeli sepuasnya, kami berdua sangat senang kala itu, tertawa, berlari kesana-kesini, sampai-sampai aku yang sedang dikejar oleh Clara menabrak salah satu gerobak penjual es krim. Bapak itu begitu marah, hingga ayah harus mengganti rugi atas kelakuan kami berdua.

    Aku tertawa geli mengingat kejadian itu, lalu kembali kupandang wajah Nino yang begitu tampan hari ini. Ia telah mempersiapkan semuanya, pikirku sambil tersenyum. Aku sepertinya sangat menyukainya.

“Ngapain senyum-senyum?,” tanyanya sembari menoleh kearahku, Seakan mengetahui apa yang sedang aku pikirkan.

“Nggak ada, fokus aja nyetirnya, jangan liat aku terus, nanti kamu tambah suka lagi,” ledekku sambil tertawa kecil.

“Apa yang aku rasain ke kamu, emang akan slalu nambah terus-menerus, sejak hari pertama kita ketemu, setiap detiknya, setiap harinya, dan akan terus berlanjut hingga tahun-tahun selanjutnya, ” ucapnya lembut sambil tersenyum ke arahku.

Meledak, pupil mataku membesar, saking terkejutnya. Mukaku kini pasti sangat lucu kelihatannya. Merah padam seperti kepiting rebus. Salah tingkah sudah aku dibuatnya. Aku hanya bisa diam dan membuang muka kearah jendela, berusaha meluapkan rasa senang dengan senyuman kearah rerumputan yang terlewati.

***

   Mobil yang dikendarai Nino berhenti didepan sebuah rumah. Rumah itu tampak lusuh dan tua, seperti tak berpenghuni. Namun tetap bersih “Kenapa kedua orang tua Nino tinggal di tempat seperti ini? sedangkan Nino adalah seorang bos di sebuah kota besar?,” tanyaku bingung dalam hati.

Nino membukakan pintu, seakan mempersilahkanku untuk keluar dari mobil. Deja Vu. Kenapa semua pemandangan yang kini berada didepanku serasa pernah aku lihat. Jalan setapak, pohon-pohon rimbun, bau tanah liat dari jalan yang basah. ini tidak asing. Tapi kapan? Dimana?

“Ayo masuk,” Ucap Nino sambil melangkah maju dengan menggenggam erat tanganku. Jantung ini kembali serasa ingin meledak. Namun aku tetap menuruti langkahnya. Ia membuka gagang pintu dengan perlahan. Kini kami sampai di bagian ruang tamu rumah. Kosong tak ada apapun dan siapapun. Ia melanjutkan langkahnya dan menuntunku ke arah sebuah ruangan di rumah itu, kami masuk.

     Lagi-lagi aku dikejutkan dengan hal-hal yang aneh. Kini ada dua makam tepat berada di depanku. Satu di antaranya memiliki nisan yang lebih tinggi, seakan mengatakan perbedaan derajat diantara keduanya. Nino melepaskan genggamannya, berjalan menuju sebuah lemari usang yang berada disudut ruangan, ia mengambil dua buah foto berukukuran besar, membawanya ke arah makam dan memasangnya.

    Satu foto diantara keduanya menarik perhatianku, aku lihat lekat-lekat, sembari mengingat. Kini aku membisu. Seluruh kosa kata yang kuketahui seakan terformat dari pikiranku. Tak tahu apa yang harus aku katakan. Tak tahu ekspresi seperti apa yang seharusnya aku pasang. Aku hanya diam, bagai patung tak bernyawa.

     Nino kembali menggenggam tanganku, lalu berkata “Ini ayah dan ibuku, maaf karena aku belum sempat bercerita tentang mereka, kamu pasti mengira mereka masih hidup dan memang tinggal di rumah ini. Saat itu ayah pulang dengan bekas luka berdarah dimatanya, ibu dan aku panik. Namun, ayah tak bercerita apapun, ayah memang sesorang yang tak suka dipaksa, jadi kami membiarkannya.

    Beberapa hari setelah itu, ia jadi sering batuk dan sakit-sakitan. Hari demi hari ayah bertambah parah tanpa tau apa penyakitnya. Permintaannya, ia ingin dikuburkan di rumahnya sendiri, tepatnya di kamarnya. Dan ibupun ikut berjanji dimanapun ayah berada, ia akan selalu berada di sampingnya. Ayah meninggal tanpa tau apa penyakitnya, dua bulan setelah itu, ibu menyusul. Sehingga jadilah seperti ini, ” suara Nino terdengar serak, seperti menahan tangis dalam bibirnya.

     Ia menuntunku untuk bersujud di kedua makam itu, aku menurutinya namun, kini pikiranku menerawang jauh bersama kenangan-kenangan pahit beberapa tahun silam. Bunyi pistol, cucuran darah, sayatan pisau, teriakkan, dan tangisan. Semuanya kembali menari dipikiranku, membuat luka yang belum sempat sembuh, namun tidak lagi sakit kembali terasa. Air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya menyusup keluar bersama isakan tangis di dalam sujudku. Ayah, Ibu, Clara, aku menemukannya!, Namun apa yang harus aku lakukan?

    Nino tampak kaget melihatku menangis, aku masih belum bangkit dari sujudku. Berusaha meluapkan segalanya, kemarahan pada pria yang ternyata ayah dari orang yang kucintai, kesedihan atas kematian orang tua dan adikku, kekesalan atas kebodohan yang tidak sedikitpun aku ketahui, dan kebingunan atas apa yang seharusnya aku lakukan sekarang. Bagaimana aku harus menjelaskannya kini pada Nino? Mengatakan sejujurnya bahwa aku anak dari orang yang telah di bunuh ayahnya? Atau pura-pura tidak tau dan melupakan semuanya seakan tidak pernah terjadi dan hidup bahagia bersamanya? Atau lebih parahnya membalaskan dedam kebencian itu, yang menjadi tujuan hidupku selama ini.

“Kamu kenapa rin?, ” tanya Nino tampak bingung, namun ia tetap berusaha menenangkanku dengan berusaha memegang kedua bahuku. Tanganku spontan menolak. Aku angkat kepalaku, dan mulai mundur menjauh darinya. Mata ku sembab, air mata masih saja tumpah, bersama isak tangis yang kutahan-tahan. Aku menatap Nino, antara benci, marah, bingung, sedih dan berbagai rasa yang bercampur jadi satu. Kini didalam diriku seakan ada beberapa sisi yang berbeda.

Satu diantaranya membisikkan “Balaskan dendam Ayah, Ibu dan adikkmu! Karena kau takkan mungkin lagi mendapatkan kesempatan seperti ini untuk kedua kalinya, bunuhlah dia sekarang juga! Cepat ambil pistol yang ada di dalam tasmu,” ucapnya mempengaruhiku dengan amarah. Dan satunya lagi mengatakan “Jangan… bukankah kamu mencintainya dan dia juga mencintaimu? Tuhan telah menakdirkan dua pihak diantara kalian berdamai. Lupakanlah dendam itu. Dendam hanya akan lebih mempersulit kehidupanmu,” ucapnya lembut berusaha menenangkan. Namun kini ada sisi yang aneh di dalam diriku yang mengatakan “Jika kau tak bisa memilih dan merasa tidak berguna maka bunuh saja dirimu sendiri,”.

   Kepalaku semakin sakit, tak tau mana yang harus aku pilih, aku takkan mungkin tega membalaskan dendam kebencian ini pada orang yang jelas-jelas aku sayangi. Jangankan membunuhnya, melukainya saja bahkan aku tak bisa. Lantas apa? Aku  harus jujur dan berdamai dengannya, lalu menikah dan kami akan hidup bersama selamanya? Lalu seluruh rasa bersalah terhadap orang tua dan adikku kembali datang menghampiriku karena tidak menepati janjiku dan tujuan hidupku? Itupun jika dia menerima masa laluku.

Aku mengambil pistol yang ada di dalam tasku, aku selalu merasa aman jika bersama pistol ini. Ini adalah pistol yang diberikan ayah saat mengajariku menggunakannya. Sejak insiden malam itu, aku selalu membawanya kemanapun, meski bersama siapapun.

Aku tatap mata coklat Nino yang selalu bisa menenggelamkanku dalam kenyamanan. Namun, kali ini berbeda, Ia menatapku dengan kebingungan. Pilihan terlalu sulit, bagiku. Aku tak bisa memilih.  Kini mungkin ia menganggapku sudah gila. Benar. Aku gila. Maka biarkan aku mengakhiri semua ini dengan pilihan yang gila pula.

“DDAAARRRR,”.

TAMAT

19 Komentar

  1. As I am looking at your writing, casino online I regret being unable to do outdoor activities due to Corona 19, and I miss my old daily life. If you also miss the daily life of those days, would you please visit my site once? My site is a site where I post about photos and daily life when I was free.

  2. The point of view of your article has taught me a lot, and I already know how to improve the paper on gate.oi, thank you. https://www.gate.io/ar/signup/XwNAU

  3. Your point of view caught my eye and was very interesting. Thanks. I have a question for you. https://accounts.binance.com/en/register?ref=P9L9FQKY

  4. Elitepipe Plastic Factory’s fittings exhibit outstanding dimensional accuracy and are manufactured using high-grade materials, ensuring long-lasting performance and reliability. Elitepipe Plastic Factory

  5. Elitepipe Plastic Factory’s fittings exhibit outstanding dimensional accuracy and are manufactured using high-grade materials, ensuring long-lasting performance and reliability. Elitepipe Plastic Factory

  6. ElitePipe Plastic Factory – Your Reliable Piping Solutions Provider in Iraq! 🏭🇮🇶 👉 Are you in need of high-quality plastic piping products? Look no further! Elite Pipe Plastic Factory is your trusted partner, offering a comprehensive range of piping solutions to meet your diverse needs. 🔸 HDPE Pipes: Our High-Density Polyethylene (HDPE) pipes are engineered to deliver outstanding performance in water supply, irrigation, and industrial applications. With their exceptional durability, flexibility, and resistance to corrosion, they are the ideal choice for your projects. 🔸 UPVC Pipes: Unplasticized Polyvinyl Chloride (UPVC) pipes from Elite Pipe Plastic Factory are designed for efficient sewerage, drainage, and plumbing systems. These pipes provide excellent chemical resistance and long-term reliability. 🔸 LDPE Pipes: Looking for reliable pipes for your agricultural needs? Our Low-Density Polyethylene (LDPE) pipes are perfect for drip irrigation and other agricultural applications. They ensure optimal water distribution and promote sustainable farming practices. 🔸 Butt Welding Machines: We offer top-of-the-line Butt Welding Machines that guarantee precise and efficient joining of plastic pipes. These machines are designed to deliver strong and durable welds, ensuring a leak-free piping system. 🔸 Electrofusion Welding EF Machines: Our Electrofusion Welding EF Machines enable seamless joining of pipes and fittings through advanced electrofusion technology. Experience the convenience and reliability of our welding solutions. 🔸 Fittings and Electrofusion Fittings: Elite Pipe Plastic Factory provides a comprehensive range of fittings, including electrofusion fittings, to complement our piping systems. These fittings ensure secure connections and efficient flow management. 🔸 Agriculture Pipes: Catering to the agricultural sector, we offer premium-quality pipes specifically designed for irrigation and other farming applications. Experience enhanced water distribution and optimize your crop yield. 🔸 HDPE Cables: Our HDPE cables are engineered to protect and insulate electrical cables, ensuring safety and durability in various installations. Trust our high-quality HDPE cables for your electrical projects. 🔸 GRP Pipes: Elite Pipe Plastic Factory specializes in Glass Reinforced Plastic (GRP) pipes known for their exceptional strength, corrosion resistance, and long lifespan. Experience reliable performance even in challenging environments. 🔸 Sprinkler Pipes: Enhance your irrigation systems with our reliable sprinkler pipes. These pipes ensure precise water distribution, promoting efficient and water-conserving irrigation practices. 🔸 Valves: We offer a wide range of valves suitable for different piping systems. From ball valves to gate valves, our products are designed for durability, easy operation, and efficient flow control. 🏆 At Elite Pipe Plastic Factory, we are committed to delivering the highest quality products that meet international standards. Our state-of-the-art manufacturing facility and dedicated team ensure exceptional craftsmanship and customer satisfaction. 🌐 Contact us today and discover how Elite Pipe Plastic Factory can fulfill your plastic piping needs in Iraq. Let us be your reliable partner for a successful and efficient project! 💪💧🌱

  7. توفر أنابيب HDPE من مصنع إيليت بايب Elite Pipe مقاومة ممتازة للمواد الكيميائية والتآكل والضغط البيئي ، مما يجعلها مثالية لمجموعة واسعة من التطبيقات.

  8. I have read so many articles about the blogger lovers however this piece of writing is really a fastidious article, keep it up.

  9. إن تركيبات uPVC التي ينتجها مصنع إيليت بايب Elite Pipe مقاومة للغاية للتآكل ، وتوفر حلولاً موثوقة وخالية من الصيانة لأنظمة الري والسباكة.

  10. Elitepipe Plastic Factory’s fittings are designed to be user-friendly, facilitating easy installation and ensuring hassle-free maintenance throughout their lifespan. Elitepipe Plastic Factory

  11. يتجلى التزام المصنع بالاستدامة البيئية من خلال استخدام مواد صديقة للبيئة وممارسات التصنيع الموفرة للطاقة. إيليت بايب Elite Pipe

  12. I’m often to blogging and i really appreciate your content. The article has actually peaks my interest. I’m going to bookmark your web site and maintain checking for brand spanking new information.

  13. Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me. https://www.binance.com/vi/register?ref=S5H7X3LP

  14. The factory’s uPVC fittings are designed with meticulous attention to detail, ensuring secure and tight connections that minimize the risk of leaks or failures. Elitepipe Plastic Factory

  15. Elitepipe Plastic Factory’s HDPE pipes offer excellent resistance to chemicals, abrasion, and environmental stress, making them ideal for a wide range of applications. Elitepipe Plastic Factory

  16. Pretty! This has been a really wonderful post. Many thanks for providing this info.
    먹튀검증

  17. Thank you so much for your great information, It is too useful for me. Thanks again!
    바카라사이트

  18. Быстромонтируемые здания – это прогрессивные конструкции, которые отличаются высокой быстротой установки и гибкостью. Они представляют собой здания, заключающиеся из предварительно выделанных компонентов или модулей, которые способны быть быстро установлены на участке застройки.
    Строительство помещений из сэндвич панелей обладают податливостью а также адаптируемостью, что позволяет легко изменять и модифицировать их в соответствии с интересами заказчика. Это экономически выгодное и экологически стабильное решение, которое в крайние лета получило широкое распространение.

  19. Hello there! I simply wish to give you a huge thumbs up for your great information you have here on this
    post. I am returning to your site for more soon.

    레고토토

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *